Narasi sebuah perkampungan bagi saya adalah tentang bak mandi dari semen yang menampung banyak air. Tentang bunyi burung dan serangga di waktu-waktu tertentu. Tentang menyapu halaman di pagi hari, juga meminum kopi dan menyantap gorengan untuk memulai hari. Namun, lebih dari semua itu, narasi tentang kampung adalah narasi tentang kesederhanaan. Tentang hidup yang lebih murah senyum.
Setelah lama tidak datang ke perkampungan, saya diajak Pacific Paint - Perusahaan cat pertama di Indonesia - untuk mengunjungi Kampung Ragam Warna di Desa Mranggen, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Dari namanya, kampung ini merupakan kampung yang rumah-rumah serta jalan-jalannya telah diberikan kelir warna-warni. Selama di Kampung Ragam Warna, saya akan menginap di homestay yang dikelola oleh warga. Senang sekali, karena saya bisa merasakan sensasi tinggal di kampung. Sensasi yang rasanya mulai jarang saya rasakan, karena saya sekarang lebih sering pergi ke kota-kota besar.
Saya disambut hangat petang itu oleh Mas Indra, tuan rumah tempat kami menginap. Rumah yang saya tempati bercat warna biru, dengan lukisan kapal layar di dindingnya. Rumahnya bersih dan penerangannya cukup. Meskipun kamarnya agak sempit, namun ada televisi, pengharum ruangan, kelambu, minuman serta camilan. Kamar mandinya juga bersih, airnya jernih dan lancar. Sudah sangat layak untuk menjadi rumah tempat tinggal para pengunjung Kampung Ragam Warna.
Atraksi Drumblek |
Tarian Payung Hias |
Setelah menaruh barang, saya bergegas menuju tengah kampung tempat panggung gembira berdiri. Malam itu adalah malam kesenian. Drumblek - atraksi perkusi dari drum air - menghibur saya dan seluruh penonton. Penari payung kertas yang menari diiringi tetabuhan dari drumblek juga membuat suasana semakin semarak. Tradisi ini sering dilakukan oleh warga kampung, sampai-sampai ada kejuaraan drumblek dan lukis payung. Para pemain Drumblek ini juga sedang mempersiakan diri untuk bisa beratraksi di Jepang. Semoga saja bisa terwujud dan mengharumkan nama Indonesia di luar negeri.
Malam itu, atraksi yang paling saya tunggu adalah orkes Malaya 12. Orkes ini adalah orkes asli kecamatan Kaliwungu, yang tampil beda dari orkes-orkes zaman sekarang. Bukan menjual dangdut koplo atau atraksi organ tunggal, Malaya 12 adalah orkes Melayu yang menyanyikan lagu-lagu dangdut melayu dari era 60-an. Sebagai seseorang yang sering diejek reinkarnasinya belum sempurna karena jiwanya masih tertinggal di masa lalu, saya langsung terkesima dengan kelihaian orkes ini membawa kembali nostalgia orkes-orkes tua.
Saya langsung teringat pernah menemukan selembar foto hitam putih di rumah Pontianak. Foto itu memuat almarhum kakek saya dan beberapa orang lainnya sedang tampil bermain orkes di kampung. Menyaksikan Orkes Malaya 12 membuat saya mendapat bayangan seperti apa almarhum kakek saya menghibur warga di masa lalu.
Atraksi Drumblek dan hiburan Malaya 12 adalah impresi pertama saya tentang beragamnya kampung ragam warna. Di tengah era yang menuntut semua selera dan gaya menjadi seragam, ada sudut-sudut kecil kampung ini yang tetap mempunyai identitas kuat. Siapa sangka, lagu-lagu melayu kuno mampu bertahan dan menarik hati warga di tengah gempuran dangdut koplo dan musik-musik Korea serta Barat. Siapa sangka, tradisi tari dan tetabuhan drum air juga bisa memiliki nilai jual yang kuat.
Esok hari, pagi-pagi saya berjalan keliling kampung. Senyum menyambut saya setiap berpapasan dengan warga desa. Warna-warni rumah menambah semarak manisnya senyum mereka. Payung-payung kertas menghias kanan-kiri jalanan kampung. Motifnya beragam, mulai dari bunga-bunga, batik, hingga kreasi lukian kontempoer.
Payung kertas ini ternyata bukan sekadar payung hias. Payung ini turut berkontribusi membangun peradaban payung sebagai pelindung badan dari berbagai cuaca. Di masa lalu, payung ini diameternya lebar, dan jadi pelindung para pedagang di pasar dari panas dan hujan. Payung ini juga sakral, karena dipakai para petinggi seperti raja dan sultan.
Saya berkempatan untuk berkeasi melukis payung saya sendiri di kampung ragam warna. Sayangnya, niat saya melikis motif mega mendung malah jadi kacau balau karena memang tidak terampil melukis. Memang lebih baik jika saya menjadi penikmat saja dari pada jadi pelukis payung. Tetapi, saya sangat senang ketika berkreasi hari itu. Telah lama rasanya saya tidak melukis secara langsung, mencipta, mengapresiasi proses, merayakan kegagalan, juga belajar tentang filosofi dari hal-hal sederhana. Kreasi payung di kampung ragam warna membuat saya menghayati tentang ragamnya cara kita untuk berkreasi.
Selama di kampung ragam warna, makanan yang terhidang membuat saya bersyukur akan beragamnya kuliner negeri ini. Tidak melulu nasi, namun kita memiliki tiwul, kacang, singkong, dan lontong sebagai sumber karbohidrat utama. Parutan kelapa, lalapan, sambal, kerupuk petis, dan sop bening juga sungguh jadi pelepas rasa lapar. Kerupuk balung, dan berbagai makanan kecil lain yang baru pertama kali saya temukan juga membuka mata saya tentang banyaknya hal yang belum kita ketahui dari kuliner negeri ini.
Sungguh, warna-warni kampung ini memang menarik untuk dijadikan latar berfoto supaya eksis dan kekinian di media sosial. Kampungnya memang sangat indah, berjejer menurun dari puncak bukit menuju lembah. Cat dari Pacific Paint juga membuat setiap sudut kampung jadi jauh dari kesan kumuh. Jangan lupa, setelah menikmati ragam spot foto, juga nikmati ragam-ragam lainnya di kampung ragam warna ini. Ada tradisi seni, kuliner, juga ragam cerita dari warganya. Menginaplah, rasakan kembali keragaman hidup yang mungkin sudah kita lupakan, karena suka terpaksa hidup dalam keseragaman.
Kampung Ragam Warna
Desa Mranggen, Kecamatan Kaliwungu Kendal.
Menuju kampung ini bisa dengan kendaraan umum sewaan seperti Taxi, atau mobil sewaan.
Hanya berjarak satu jam dari kota Semarang.
Aku kenyang senang di sana.
ReplyDeletehayuk ulang lagi!
Kampung warna hadir juga akhirnya di Kendal...
ReplyDeleteKeren tu, semoga bisa membuat Desa Mranggen semakin dikenal dan menjadi destinasi tujuan wisata, apalagi menjelang mudik..
wah seneng ya, kalua liat kampung seperti ini, tapi semoga aja perawatannya juga bisa selamanya, kasian kalua sudah pudar
ReplyDeleteKeren banget kampungnya, penuh warna warni. Salah satu cara unik menjadikan sebuah desa sebagai destinasi wisata.
ReplyDelete