Warna langit Jakarta biru cerah hari itu. Saya sudah mandi, hendak sarapan di restoran Pullman Central Park tempat saya menginap. Hari itu adalah hari terakhir rangkaian acara The Edge Of Beyond yang diselenggarakan oleh ASUS Indonesia. Acara peluncuran enam laptop terbaru dari asus tersebut berlangsung lancar, sukses menjadi tranding topik di jagat maya. Apresiasi masyarakat Indonesia menyambut enam laptop baru itu sungguh luar biasa.

Sriwedari, nama yang saya kenal dari judul lagu band Maliq & D'essentials berjudul Setapak Sriwedari. Tetapi, ternyata Kota Solo juga memiliki tempat bernama Sriwedari, bahkan jauh sebelum lagu bernada syahdu itu dipublikasikan. Taman Sriwedari di jalan Slamet Riyadi Solo seolah menjadi perwujudan dari arti kata Sriwedari itu sendiri yang adalah taman surga. Di taman ini, air mata seorang teman mengucur deras. Di taman ini, saya terisak dalam diam. Antara sedih, bahagia, dan gelisah, apakah tempat ini akan terus indah dan bahagia seperti cerita tentang sebuah taman surga.

Zaman berubah. Dulu menulis adalah cara agar pemikiran seorang menjadi abadi. Kini, video adalah alternatif lain untuk mengabadikan buah pikir seorang insan. Cara mengabadikan suatu perjalanan juga berubah. Ratusan tahun lalu, seseorang akan terpesona dengan cukup membaca catatan perjalanan Weber Wallace menyusuri kepulauan di Asia. Kini, seseorang akan terpuaskan ketika bisa melihat indahnya aurora borealis di Islandia, meskipun hanya lewat layar kaca.

“Kopi Pontianak itu rasanya biasa aja, tapi budaya ngopinya yang bikin luar biasa”

Itulah kata seorang teman tentang seberapa pentingnya kopi bagi orang Pontianak. Kopi adalah budaya. Hampir setiap beberapa ratus meter akan selalu ada warung minuman yang menjual kopi saring – kopi ala kopitiam – di kota Pontianak. Ragam kreasi mulai dari kopi pancong alias kopi hitam setengah gelas, hingga kopi susu, siap untuk menjadi teman mengawali hari.