Awal tahun 2017 lalu, saya bersama beberapa teman pergi tamasya ke sebuah kebun teh di kaki Gunung Ungaran, yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kendal. Kebun Teh medini adalah nama perkebunan di dataran tinggi itu. Menyusuri kebun teh ini membawa saya pada kontemplasi. Tentang kabut yang perlahan turun, tentang sejarah mener-mener penjaga kebun.
Menuju perkebunan ini, saya mengenakan sarung dan naik motor berboncengan dari rumah teman saya di Kaliwungu. Baju dan celana saya memang seadanya, karena masih basah semua terguyur hujan di malam tahun baru sehari sebelumnya. Kami mengambil jalur ke arah utara Kabupaten Kendal. Perlahan jalanan menanjak, dan udara yang tadinya panas berubah menjadi sejuk. Kami mengambil jalan sedikit memutar, melewati jalur Curug Lawe. Sayang kami tidak sempat mampir ke air terjun itu, karena hujan gerimis yang membuat jalanan batu menjadi begitu licin.
Kebun teh Medini ramai hari itu, maklum hari libur. Sayang hari masih saja mendung, membuat hijaunya kebun teh tidak terlihat karena tertutup kabut. Saya berjalan menyusuri setapak yang di kanan dan kiri tumbuh berbaris pohon-pohon teh. Tidak lama hujan turun dengan lebatnya. Untung saya masih sempat berlari masuk dalam sebuah pondok di tengah kebun, yang juga ramai dengan mereka yang juga mencari tempat berteduh.
Ketika hujan reda, saya mencoba mendaki menuju terasering kebun teh yang lebih tinggi. Saya susuri jalan kecil dengan pohon teh yang masih basah karena guyuran air hujan. Jalanan yang sempit membuat daun dan ranting pohon teh menyentuh saya, membuat pakaian saya menjadi basah. Saya mencoba mengamankan kamera dan handphone agar tidak menjadi basah.
Ketika sampai di jalan pulang, saya melihat air terjun kecil yang muncul dari aliran air sehabis hujan. Airnya begitu sejuk, semakin semarak karena ada bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitarnya. Tidak lama, saya melihat ada beberapa orang yang naik sepeda menuruni bukit. Saya salut karena mereka mampu bersepeda lintas alam di hari hujan itu. Mungkin juga mereka memutuskan untuk turun, tidak mau terkena hujan lebih lama.
Sampai di pelataran parkir, ternyata mendadak hari terang. Setelah duduk melepas lelah beberapa saat, saya beranjak pulang menuju Kaliwungu. Sebelum keluar jauh dari area komplek kebun teh, saya sempatkan mengabadikan bangunan pabrik teh. Bangunan itu tampak tua, mungkin sudah beroperasi sejak zaman Belanda. Namun, hari-hari ini sepertinya bangunan pabrik menjadi tempat mencari sepi. Entah, mungkin karena juga sedang libur, sang pabrik tampak tertutup rapat.
Yang jelas saya senang. Siapa yang bisa menolak pesona dataran tinggi, dan menghirup udara yang begitu murni, meskipun kabut menyelimuti.
Sedikit koreksi mas ghana, curug lawe yg betul. Memang namanya sama dengan curug lawe yg ada di kalisidi gunung pati hehe.
ReplyDeleteMedini memang cocok untuk berburu kabut, waktu musim kemarau saja bisa tiba2 turun kabut, lalu tiba2 panas lagi :D
siaap mas, sudah di koreksi. Terimakasih atas infonya, saya baru tahu juga.
Deleteihh. dateng ke kebun teh di kaki gunung, sampe masih ada kabutnya tuh adem bener pastinyaaa. asooyy.
ReplyDeleteiyaa bener adem banget, udaranya segar. Betah, asal gak kehujanan ajaaa hehehe
DeleteSepertinya seger nih tempatnya. Apalagi viewnya istagramable hehe
ReplyDeleteIyaa asik buat foto-foto juga kaak
DeleteWohoo ini menarik banget. Kendal setahuku hanya punya air terjun Curug Sewu dan bekas Pabrik Gula Kaliwungu. Lah ternyata ada kebun teh keren begini dan sisa sejarahnya. Asekk nih, jadi rujukan untuk mengunjungi Kendal. ^^
ReplyDeleteiyaaa kak bener.. jalurnya lewat pabrik gula kaliwungu itu juga. Aku malah baru tau ada pabrik gula di kendal pas main ke kebun teh ini :D
DeleteGhana! Kamu sarungan doang?? Gak pake apa-apa lagi blas?
ReplyDelete*ini kenapa komennya begini hahaha..
Aduh kebayang dinginnya (dan segarnya) jalan-jalan di kebun teh yang ada di kaki gunung.
Ahahaha masih pake kaaak ;D cuman ga pake celana panjang ajaa.. Iyaa dingin kak apalagi pas musim ujan. Tiap beberapa menit sekali mendung datang dan hujan turun
Delete