Setelah
selesai menikmati nikmatnya nasi kuning yang menjadi menu sarapan di Wisma
Indonesia, saya kemudian bersiap menjelajahi kota London. Saya kuat-kuatkan
kembali niat untuk tidak bangun siang selama di London, agar semakin banyak
tempat yang bisa dikunjungi. Memang perjalanan bukan soal jumlah destinasi,
tetapi sudah jauh-jauh ke London, saya tidak ingin mengisi hari hanya dengan tidur
sampai pagi pergi.
Karena Wisma
Indonesia tempat saya menginap berada dekat dengan stasiun Underground
Colindale, maka saya akan menuju pusat kota London dengan menggunakan kereta
bawah tanah yang tersohor itu. Untuk berkeliling London, saya
membutuhkan sebuah kartu yang menjadi karcis untuk semua moda transportasi yang
bernama Oyster Card. Kartu ini seperti uang elektronik yang bisa diisi ulang di
stasiun ataupun mini market terdekat. Oyster Card bisa digunakan untuk membayar
jasa transportasi yang tergabung dalam jaringan Transport for London yaitu
Underground, Overground, dan Bus bertingkat, serta jaringan lainnya yang
berlogo TFL.
Setelah
menempuh perjalanan sekitar 48 menit, saya tiba di stasiun Tower Hill di dekat
Tower of London yang menjadi destinasi pertama saya. Hari itu cerah, langit London
begitu biru dengan awan-awan tipis menggumpal seperti gulali. Keluar dari
stasiun, berdiri dengan gagahnya sebuah bangunan bak istana dalam negeri
dongeng. Tower of London, sebuah simbol penakulkan, simbol dari rakusnya
manusia akan kekuasaan. Kastil ini berdiri sebagai lambang penindasan Normandia
pada London. William Sang Penakluk yang mengambil alih tahta kerajaan Inggris
mendirikan kastil ini sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan pada tahun 1066.
Selama hampir 1000 tahun berdiri, kastil yang terkenal karena menara putihnya
ini telah berganti-ganti fungsi mulai dari rumah tinggal yang nyaman,
hingga penjara yang menyeramkan. Banyak eksekusi mati dilakukan di menara ini,
termasuk eksekusi mati ratu Inggris Anne Boleyn yang menjadi istri dari Raja
Henry VIII yang terkenal karena memisahkan Gereja Inggris dari Gereja Katolik
Roma.
Tidak jauh
dari Tower of London, berdiri megah Tower Bridge. Tower Bridge adalah jembatan
yang menghubungkan sisi utara dan selatan sungai Thames. Yang unik dari
jembatan ini adalah adanya dua menara di kedua ujung jembatan, serta lajur jalan
yang bisa diangkat ketika ada kapal yang lewat. Sampai hari ini lajur tersebut
masih sering terangkat, dan momen tersebut adalah hal yang begitu ditunggu oleh
para pengunjung jembatan. Mengunjungi Tower Bridge membuat saya mengenang masa
kecil. Saya masih ingat ketika ibu saya pulang dari London, saya mendapat
sebuah kotak pensil yang bergambar Tower Bridge. Kala itu saya senang bukan
kepalang, kemudian saya bernyanyi-nyanyi lagu London Bridge is Falling Down. Ternyata
barulah saya tahu bahwa London Bridge bukanlah Tower Bridge, meskipun di video klip lagu
London Bridge yang muncul adalah gambar Tower Bridge.
Saya kemudian
menghabiskan waktu sejenak di Tower Bridge, menghirup dalam-dalam angin yang
berhembus, yang seolah meniup kapal-kapal di sungai Thames menuju Selat
Inggris. Saya bersama dengan teman-teman kemudian menumpukkan tangan pada
sebuah plakat bertuliskan Tower Bridge. Doa kami tersimpan dalam tumpukan
batu yang menyusun jembatan nan indah ini. Angin kemudian membawa saya menuju sisi
selatan London, tempat city hall dan bangunan-bangunan tua yang menjadi saksi
jayanya maritim Britania berdiri. Sebuah
promenade yang luas dan bersih terbentang di tepian Thames.
Ratusan manusia
bermacam rupa berkumpul merayakan bahagia melihat jembatan indah yang sesekali
mengangkat lajurnya supaya kapal-kapal bisa melaut. Bangunan modern seperti
cangkang siput berdiri menambah semarak suasana. Itulah City Hall, kantor dari
walikota London yang berdiri di tepian Thames, seolah menjadi syahbandar dari setiap
gerak-gerik kota. Ke arah timur, berjejer bangunan-bangunan tua yang beberapa
diantaranya adalah bangunan yang berkaitan dengan aktivitas maritim di masa
lalu. Toko-toko bunga juga berdiri berdampingan dengan toko oleh-oleh di antara
sudut-sudut yang renta namun menawan itu. London oh London, aku jatuh cinta di
hari pertama pada kota mu yang mempesona.
Tower Bridge |
Tower Bridge: Checked |
Pose di Depan City Hall |
Toko Oleh-Oleh di sekitar Tower Bridge |
Plakat sejarah bangunan |
Bus
kemudian membawa saya menuju area Westminster untuk menggenapi tempat-tempat
yang begitu ingin dikunjungi. Southbank atau sisi selatan sungai Thames adalah
tempat London Eye, sebuah bianglala yang menjadi salah satu tengara London
berdiri. Di sekitar London Eye banyak kesenian jalanan menampilkan aksinya yang
begitu menghibur. Tempat ini seolah menjadi destinasi wajib para turis ketika
ke London. Suothbank ramai sekali hari itu. Antrian London Eye mengular
panjang, dan tempat-tempat makan penuh para pengujung. Saya puun menikmati roti Sub
Way yang saya beli di Sub Way dekat London Eye, sandwich berisi daging dan sayuran dengan harga yang murah namun
mengenyangkan. Sub Way kemudian menjadi penyelamat perut saya yang mudah
keroncongan.
Karena
memang tidak akan naik London Eye, saya kemudian menyeberangi Westminster
Bridge yang terletak tidak jauh dari London Eye. Menyeberang menuju sisi utara Westminster, saya sejenak terkesima dengan apa yang dilihat oleh mata saya.
Menjulang, mencakar langit dengan tegasnya, menjadi tanda supremasi demokrasi
dunia. House of Parliament berdiri dengan menara Big Ben nya yang akan
berdentang setiap setengah jam. Di bangunan itu, Winston Churchill, Margaret
Thatcher, Tony Blair, hingga David Cameron berdebat dengan para dewan negeri. Di
bangunan itu demokrasi lahir, debat-debat mengemuka, dan menjadi panutan bagi
seluruh dunia. Jam raksasa yang menjadi penujuk waktu juga masih saja sama,
selalu berputar menjadi panutan bagi setiap mereka yang melihatnya.
London Eye |
Westminster Bridge |
House of Parliament |
Hari sudah
hampir gelap. Saya berjalan menyusuri Parliament Street hingga White Hall
menuju Trafalgar Square. Di suatu sudut jalan saya melihat kerumunan dan banyak
polisi yang berjaga. Tetapi tidak jelas apa yang dikerumuni dana apa yang
dijaga, karena tertutup barikade pagar besi. Ternyata barulah saya sadar bahwa
di balik pagar tadi terpatri plakat Downing Street, alamat rumah Perdana
Menteri Inggris. Seketika saya berpikir, sepertinya tiap jengkal jalanan di
Westminster ini adalah sebuah lini masa sejarah. Tempat orang-orang berpengaruh
pernah menginjakkan kaki dan mengubah dunia.
Mendung
yang mulai menyelimuti langit London membuat saya mempercepat langkah menuju
destinasi terakhir saya hari itu. Trafalgar Square adalah tempat yang saya
kenal dari buku Negeri 5 Menara. Sejak membaca Negeri 5 Menara, saya ingin sekali
melihat sendiri menara yang menjadi tempat impian tokoh utama dalam buku itu.
Di balik pagar ini, Perdana Menteri Inggris tinggal |
Trafalgar Square |
Di ujung
jalan, terlihat sebuah tugu yang menjulang, yang diatasnya berdiri dengan
gagahnya Sir Horatio Nelson, yang menjadi pemimpin angkatan laut Inggris
memenangkan Pertempuran Trafalgar melawan Napoleon. Kini, Trafalgar adalah
sebuah alun-alun, dengan dua air mancur kembar. Menikmati sore di tempat seperti
ini merupakan sebuah momen yang sangat ingin saya rasakan. Sebuah alun-alun
yang ramai, sepulang kerja, di suatu sore yang mendung ketika matahari hampir terbenam.
Riuh kendaraan terdengar di kejauhan, dan saya duduk diam di tepi air mancur,
menikmati sore menunggu angin utara menyadarkan kembali lamunan saya.
Syahdunya Trafalgar
membuat saya berimajinasi tentang sore sempurna versi saya. Hingga gerimis
perlahan turun, dan sayapun segera naik bus tingkat kembali menuju Colindale.
Saya sepertinya harus meluruskan kaki, dan menghangatkan badan dengan segelas
jahe hangat dan Indomie yang sudah menjadi bekal dari Indonesia. London, di
hari pertama ini aku jatuh cinta. Cinta pada kotamu, pada setiap jengkal
pengaruh mu yang kau berikan pada dunia.
Keren.....
ReplyDeleteKalo baca dari ceritamu, pas kamu ke London cuacanya lagi cerah & udaranya nggak dingin ya Gana
ReplyDeleteCuaca cerah iyaa kak, tapi tetap super dingin.. Itu masih transisi musim dingin ke musim semi. Suhu tiap hari 4 derajat. Cerah memang menipu.
Delete