Hari hampir
siang tatkala saya dan rombongan famtrip Jateng 2017 tiba di Gua Jatijajar,
Kebumen. Ternyata kami tidak masuk di gua yang sudah tertata bak taman
hiburan itu. Kami malah diminta naik dalam sebuah mobil pickup, dan lanjut menyusuri jalanan
desa selama sekitar 10 menit. Terik matahari siang itu tidak terasa. Pepohonan rimbun
yang tumbuh di kanan kiri jalan mampu menghalangi sengatan panas sang surya. Tanda
arah Gua Barat yang menjadi tujuan kami memberikan pertanda kami hampir sampai.
Rasa deg-degan saya semakin bertambah. Inilah pertama kali dalam hidup saya,
saya akan melakukan penyusuran gua.
Setelah berganti baju di kamar mandi yang baru saja dibangun sebagai fasilitas buat pengunjung, saya diminta berkumpul di tengah jalan desa. Wisata susur Gua Barat ini memang masih baru dikelola. Fasilitas seperti homestay, kamar ganti, pedopo, dan warung-warung masih tampak baru dan sederhana. Tempat berkumpul dan mendengarkan briefing pemandu wisata pun masih di tengah jalan desa. Tetapi saya rasa hal inilah yang menarik dari gua ini. Alaminya gua, bersahabatnya warga, dan sederhananya hidup di desa adalah hal yang juga ditawarkan selain pesona gua yang kabarnya luar biasa.
Setelah memilih
pelampung, helm, dan sepatu karet sebagai alat pengaman diri, saya ikut
berkumpul dengan rombongan untuk mendengar briefing. Pak Yudi Hartono yang
sepertinya adalah guide senior di wisata susur Gua Barat memimpin briefing
siang itu. Beliau bercerita bahwa kegiatan susur gua hari itu tidak akan sampai
pada sang primadona yaitu Superman’s big sister. Waktu sudah menjelang sholat Jumat, dan butuh sekitar 5-6
jam perjalanan untuk bisa melihat si air terjun bawah tanah itu. Tetapi Pak
Yudi tetap berjanji, akan ada air terjun yang tetap membuat takjub kami meski
tidak setinggi sang primadona yang kabarnya ketinggiannya mencapai puluhan
meter.
Tidak terbayang
bagi saya tentang bagaimana bentuk kegiatan menyusuri gua. Memasuki gua saja
saya belum pernah. Tidak terbayang ucapan para pemandu yang menjanjikan air
terjun, sungai bawah tanah, dan segala bentuk pahatan kapur yang tinggi
menjulang di dalam perut bumi. Saya pasrah, hanya bisa berdoa agar saya mampu
mengikuti ritme berjalan, agar tetap bisa takjub dengan indahnya alam bawah
tanah itu.
Batas platform beton, dan mulai terjun masuk ke dalam air |
Air yang sudah sepinggang orang dewasa |
Wajah panik, takut, lelah, dan kesakitan menahan tajamnya batuan kapur yang menusuk kaki |
Setelah berjalan
sekitar 50 meter dari tempat briefing, saya tiba di mulut Gua Barat. Mulut gua
ini tidak terlalu lebar. Ada tangga beton yang mengantar kami turun menuju
dasar gua. Lampu-lampu menerangi di kanan dan kiri jalan. Stalaktit dan
stalakmit mulai tampak dan berkilau terkena cahaya lampu. Sampai di dasar gua,
sebuah platform dari beton menyambut kami. Saya merasa seolah-olah sedang
berada dalam sebuah stasiun underground, hanya saja langit-langitnya berhiaskan
batu kapur yang menjulur-julur bak taring hewan buas. Pikir saya keadaan gua
akan terus seperti ini, dimana keadaan gua cukup terang, dengan dasar yang
sudah dibeton rapi. Dalam bayangan saya, saya hanya tinggal berjalan mengikuti
jalur beton, dan sesekali basah karena kecipratan air terjun. “Kalau ini mah enteng banget
nyusurinnya”, sesumbar saya
dalam hati.
Sombong memang
biasanya berbuah ganjaran yang setimpal. Tak lama berjalan, batas platform
beton itu tampak. Gua yang terang benderang dengan langit-langit yang tidak
terlalu tinggi mendadak berubah menjadi gelap, berair, dan langit-langitnya
tampak seperti kubah katedral raksasa yang tinggi menjulang. Takjub sekaligus
takut bercampur aduk dalam hati saya. Air kecoklatan mengalir deras di dalam
gua. Tampak kelelawar berterbangan akibat terbangun karena cahaya lampu senter.
Kami pun disuruh terjun kedalam air, dan seketika bayangan saya tentang susur
gua dengan manja pun sirna. Perlahan kami menyusuri air yang sejuk itu. Awalnya
hanya selutut, tetapi ada juga tempat-tempat yang membuat saya harus sampai berenang
dan berpegangan pada tali. Sungguh tiada guna sering sesumbar meski di dalam
hati sekalipun, alam akan mengganjar kita dengan setimpal.
Sepatu karet
yang menjadi alas kaki saya seolah tak kuasa menahan tajamnya batuan kapur
kecil di dasar sungai. Beberapa batuan bahkan sampai menerobos masuk dalam
sepatu dan mengganjal kaki saya. Tidak mampu rasanya mengikuti ritme jalan
rombongan yang telah berada jauh di depan. Sesekali saya harus membuka sepatu
dan membasuhnya dengan air agar batuannya hilang. Untungya pak Yudi mau dengan
sabar menunggu saya. Bersama dengan mas Hanif, kami menjadi tiga orang terakhir
yang menikmati ekostisnya Gua Barat ini.
Stalaktit dan stalakmit bak patung-patung yang berukuran raksasa |
Sempat-sempatnya buat fake pose, padahal gelap gulita hapenya nggak guna. |
Saya benar-benar
takjub di tempat ini. Tidak bisa berkata-kata melihat pahatan alam yang
terpampang nyata di depan mata saya. Dalam gelapnya dunia bawah tanah ada
sungai yang begitu derasnya mengalir. Pak Yudi bercerita, air sungai keruh
karena sedang musim hujan. Biasanya air sungai bawah tanah ini jernih dan lebih
memudahkan para pengunjung karena bisa melihat dasar sungai dan menghindari
batu. Stalktit dan stalakmit dalam gua begitu mempesona. Hasil ciptaan alam
selama ribuan bahkan jutaan tahun ini mampu membuat saya menarik nafas panjang
setiap melihat stalaktit dan stalakmit yang menjulur puluhan meter tingginya. Ada
yang menempel tinggi di dinding gua dan memancarkan warna putih bak patung
malaikat di gereja-gereja gothic Eropa. Ada pula yang memancarkan kerlap-kerlip
kristal jika terkena cahaya senter. Adrenalin saya benar-benar terpacu pada
setiap saat kaki saya melangkah, karena di setiap jengkal gua ini terpahat
keindahan yang mampu membuat takjub setiap mereka yang melihatnya.
Tetapi dari
semua pesona di Gua Barat, hal yang paling membuat saya takjub adalah air
terjun bawah tanahnya. Bisa dibayangkan terpesonanya saya yang baru pertama
kali masuk dalam dunia bawah tanah dan langsung disuguhkan dengan air terjun
yang mengalir deras. Air terjun ini tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar
1-2 meter tetapi mampu membuat saya takjub dengan batu-batu kapur putih yang
bersusun bak pemandian Pamukkale di Turki. Saya pun harus begitu berhati-hati
melewati air terjun ini. Air yang begitu deras, sementara batuan kapur tajam mencuat
dari bawah air siap membuat saya luka atau harus kehilangan nyawa. Sungguh pengalaman
yang bagi saya begitu luar biasa.
Air terjun, yang mengalir dalam kegelapan abadi |
Dibantu pak Yudi untuk melewati derasnya air terjun |
Kami telah
jauh tertinggal rombongan depan. Tidak lagi tampak cahaya senter mereka dari
tempat kami berdiri. Saya yang sudah lupa waktu karena telah larut dalam rasa
takut, lelah, senang, dan takjub, diingatkan oleh pak Yudi untuk kembali pulang
karena beliau harus mejadi muadzin untuk sholat Jumat. Saya dan mas Hanif menuruti
perkataan beliau dan mulai kembali menyusuri jalan pulang yang sama seperti jalan
masuk, dengan tantangan yang juga sama. Tidak ada jalan keluar lain,
lebih-lebih jalan pintas. Asiknya, perjalanan pulang saya begitu diringakan
oleh pak Yudi. Saya disuruh beliau berbaring telentang di atas aliran sungai, dan
kemudian ditarik beliau mengikuti arus. Mungkin beliau iba melihat saya yang
sudah tidak mampu menahan sakit akibat tajamnya batuan yang seolah memberikan
pijatan refleksi tanpa henti di kaki saya.
Dalam rasa
lelah namun bahagia hari itu saya tersadar, bahwa dunia itu tidak hanya terdiri
dari daratan dan lautan. Ada dunia-dunia bawah tanah yang terbentuk dari ajaibnya
pesona batuan kapur. Di barisan pegunungan karst Gombong selatan, gua-gua
berjejer dan membelah perut bumi beratus-ratus kilo meter panjangnya. Konon kabarnya,
ada gua yang bahkan memiliki ujung di pantai selatan daerah Yogyakarta. Tidak pernah
ada yang tahu seberapa dalam gua-gua ini. tidak pernah ada yang tahu rahasia
Ilahi yang tersimpan dalam kristal-kristal dan tetesan air setiap batuannya. Pahatan
Sagrada Familia Barcelona yang dibuat oleh Gaudi sekalipun mungkin tidak bisa
menandingi indahnya arsiketur alam yang dahulu, sekarang, dan sepanjang masa
terus berubah, terus terpahat, dan semoga selalu lestari.
Semua dokumentasi diambil oleh mas Hanif Insanwisata.com makasih banyak yaa mas :")
Video Perjalanan saya di Purworejo dan Kebumen
Pak Yudi sabar bgt ya..padahal paling senior..jadi yg terakhir d rombongan kayanya lbh banyak dpt konten foto karena tidak terburu2. Hehe..sayang kita g sampai superman big sister dan sawahannya.. aku pengen mengulang lagi. Pakai sepatu boat lebih nyaman. Dan tentu bawa bekal makan..hehe
ReplyDeleteIyaaa kak, aku benar-benar penasaran sama superman's big sister ituu
DeleteMantap gan, coba main ke gua pindul di deket jogja gan. Buat aku sih sangat berkesan, cuma aku ga pandai merangkai cerita perjalanan yg menarik
ReplyDeleteWah aku belom pernah yom ke gua pindul... ahahaha yang paling penting dari pejalanan itu kita bisa nikmatin yom, yang penting bahagia wkwkwk
DeleteWah seru juga nih menembus prut bumi hehehe
ReplyDeleteyuk singgah ke kidalnarsis.blogspot.co.id
Iyaa benar seru sekali bisa menembus perut bumi
Deleteair terjun didalam goanya belum ada namanya yaa mas ?
ReplyDeleteselalu seru menyusuri goa mas. saya pertama kali nyusur goa eh sekarang malah ketagihan
Yang paling terkenal sudah ada nama mas, Superman's Big Sister namanya... tapi sayang saya belum sampe kesana karenab utuh sekitar 6 jam pp
Deleteyang kayak gini baru menantang! cuma kalau susur gua yang berair gini aku agak keder! takut kena hypotermia aja sih sebenarnya :|
ReplyDeleteEmang cukup dingin sih airnya. Yang jelas kulit ampe kerut karena kerendam terus.
DeleteBtw kok komen ka fahmi yang ini masuk moderasi yaa, padahal yang lain nggak..