Kata
orang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Biarlah saya ceritakan
secara runtut bagaimana buah itu terlahir dan pergi tidak terlalu jauh
dari sang pohon.
Perjalanan saya menyusuri jalan kampung Semadu
menuju Saneh ditempuh dengan kendaraan bermotor di atas jalan tanah
berdebu. Kami tidak bisa berkendara dengan santai, karena cuaca cepat
berubah dan turunnya hujan adalah mimpi buruk karena jalan bisa saja
terputus karena banjir. Kampung Semadu adalah tempat kelahiran ibu saya.
Sebuah desa di pedalaman pulau Kalimantan Barat. Butuh sekitar 4 jam
perjalanan darat dari ibukota kabupaten untuk mencapai kampung ibu,
itupun pada musim jalanan kering.
Kampung ibu belum dialiri
listrik PLN sampai hari ini. Warga kampung biasanya membeli solar untuk
menghidupkan genset, yang hanya akan menyala pada malam hari. BBM satu
liter di sini Rp. 11.000. Hanya ada satu sekolah dasar yang telah
berdiri sejak zaman Soekarno, yang juga menampung anak-anak dari dusun
sekitar Semadu. Ibu bercerita bahwa keadaan tidak banyak berubah dari
sekitar 40 tahun yang lalu. Bedanya sekarang banyak masyarakat yang
berkerja sawit, dan sungai belakang rumah sudah jauh berubah bentuknya,
lebih dangkal dan keruh.
Bertemu dengan keluarga di Kampung Saneh
Kami
menuju sebuah dusun bernama Saneh. Dusun ini adalah tempat asal nenek
moyang saya. Ibu sewaktu kecil suka bermain di dusun ini. Ia biasa
berjalan kaki bersama moyang, atau digendong di dalam tangkin, sebuah
tas dari anyaman bambu. Dusun ini ditempuh sekitar 2 jam naik motor dari
Semadu. Melewati hutan rimba Kalimantan, kebun sawit, dan perkampungan
dengan warganya yang ramah. Di perjalanan, setiap bertemu orang lain
pasti akan saling menyapa dan memberi kabar akan pergi kemana meskipun
tidak saling kenal. Entahlah, mungkin itu cara masyarakat untuk saling
“update posisi” karena memang tidak ada sinyal untuk mengabari keluarga
di rumah.
Ibu bercerita ia lebih banyak menghabiskan masa kecil di
dusun Saneh. Dusun yang hanya terdiri dari 20an kepala keluarga. Dusun
ini begitu kecil, tanpa listrik, dengan harga BBM 11 ribu perliter, dan
masih banyak babi-babi berkeliaran di jalan-jalan dusun. Kata ibu, tak
banyak pula perubahan yang terjadi di kampung ini, sejak terakhir ia
kunjungi puluhan tahun lalu.
Ibu dan anak-anaknya di Semadu
Menginjak
SMP, ibu pindah dari Semadu untuk sekolah berasrama di ibukota
kecamatan, dan SMA di ibukota kabupaten. Pulau Jawa adalah tujuan ibu
selanjutnya untuk berkuliah. Bertemu dengan sesama anak Kalimantan di
Jogja, setelah lulus ia kembali ke Kalimantan dan mengikuti ayah saya
berkerja menjadi guru di Ketapang, tempat saya lahir. Saya pernah ingat
cerita mereka berdua membawa saya pada saat bayi di tengah malam hujan
dengan jalanan tanah berlumpur. Dua orang tua saya ini bahkan telah
membiasakan saya untuk bersahabat dengan segala medan sejak kecil.
Pernah
pula kami rasakan pasrah diambang maut, tatkala kapal kami untuk hijrah
dari Ketapang ke Pontianak hampir tenggelam karena ombak selat Karimata
yang ganas. Tetapi pernah pula kami pergi ke tempat-tempat bagus.
Berlibur ke Singkawang, mengujungi border Indonesia-Malaysia, atau
bahkan liburan ke Jogja mengunjungi paman saya yang berkuliah. Berkerja
sebagai orang lapangan, membuat ibu juga sering berpergian. Saya sungguh
beruntung sejak kecil sering diajak pergi ke kampung-kampung dan
mengenal kearifan lokal budaya setempat.
Jalan antar desa
Dari
masa kecil di kampung yang berjarak 10 jam perjalanan darat dari
Pontianak, ibu telah menjadi sosok yang menginspirasi saya dalam
berjalan. Anak desa yang masa kecilnya dihabiskan dengan menoreh,
bermain di sungai, dan mencari rebung di hutan itu membuat saya percaya
bahwa dunia itu adil bagi setiap mereka yang mau berusaha. Mulai dari
pedalaman Kapuas Hulu, Papua, Sumatra, hingga Nepal, India, Bangladesh
sampai Britania Raya telah ibu jelajahi. Semangat ibu untuk berjalan
turun ke saya dan saya sungguh bersyukur akan hal itu.
Tetapi
yang mebuat saya sangat berterimakasih pada Tuhan adalah karena
memiliki ibu yang tidak pernah lupa dari mana ia berasal. Gemerlap
dunia, tidak membuatnya lupa pada masa kecil di kampung yang masih gelap
gulita ketika malam hari. Tak ada yang lebih bahagia ketika melihat
wajah sumringah ibu sewaktu pulang kampung dan mengenang kembali tempat
dimana ia berasal.
Ribuan kilometer yang telah ia tempuh akan
kembali berawal di sebuah kampung dimana ia terbiasa bermain air di
sungai, mengenal kesederhanaan dan juga arti keluarga yang sesungguhnya.
Semoga saja buah mu ini tidak lupa pula pada kampung halamannya. Selamat Hari Ibu.
Ayah, Ibu dan dua adik saya
0 comments:
Post a Comment