Jam
di handphone telah menunjukkan pukul 5 pagi hari. Segera saya bereskan
peraduan saya yang terdiri dari sehelai jaket dan tas ransel sebagai
bantal, dan menuju toilet terkunci yang akhirnya telah terbuka di sudut
stasiun untuk mematut-matut tampilan diri. Dari Semarang, kereta yang
saya naiki menuju Stasiun Pasar Senen sampai dini hari. Saya harus
berdiam beberapa jam di stasiun tua ini hingga pagi sedikit lebih cerah,
menunggu KRL pertama menuju Jakarta Kota beroprerasi.
Stasiun Pasar Senen pagi itu
KRL
pagi itu masih sepi. Dari Pasar Senen saya membeli karcis elektronik
KRL menuju Jakarta Kota. Terlihat beberapa karyawan dan mahasiswa yang
duduk tersebar, saling berjauhan sambil sibuk dengan gawainya
masing-masing. Mungkin mereka ini adalah tipikal masyarakat yang lebih
memilih berangkat sangat pagi agar tidak terkena desakan sesama komuter
ketika jam padat sudah menjelang. Saya turun di Stasiun Kampung Bandan
untuk berganti platform. Jakarta sedikit cerah pagi itu dengan udara
yang lebih segar dari biasanya, semalam hujan sepertinya. Di Stasiun
Kota saya tukarkan karcis elektronik saya untuk mendapat kembali sisa
kredit, lumayan untuk membayar karcis masuk museum nanti, guam saya
dalam hati.
Pagi hari di Fatahilah
Waktu
menunjukkan pukul 6 pagi. Hari ini Sabtu, dan tentulah plaza di depan
museum Fatahilah ramai dengan para warga yang berolahraga, dan pelancong
yang ingin mengejar sunrise di gedung bekas balaikota Batavia itu. Saya
duduk-dukuk melihat pemandangan di atas sebongkah batu marmer yang
dijadikan kursi taman. Hari ini saya berencana menuju museum-museum yang
ada di kawasan Kota Tua Jakarta ini. Tentulah museum Fatahilah, museum
Wayang, Museum BI, dan Museum Keramik sudah menjadi incaran saya,
tinggal menunggu waktu operasinya tiba. Semua museum beroperasi jam 10
pagi, masih ada empat jam waktu saya menunggu. Sayapun mencari sarapan
di sekitar Fatahilah sembari mengulur waktu. Sedikit bosan, pukul 8 saya
mulai arahkan langkah kaki menuju utara menyusuri sungai hingga
menemukan Jembatan Kota Intan yang ikonik itu. Dari jembatan Kota Intan,
saya mecoba memberanikan diri menelusuri kampung kumuh dibawah jembatan
layang, iseng menuju pelabuhan Sunda Kelapa. Sesuai logika dan peta,
maka tinggal susuri jalan ke utara, dan akan ditemukan batas Jakarta
Raya ini dengan Laut Jawa.
Museum Wayang di kejauhan
Jalanan
kumuh berangsur dipenuhi dengan deretan gudang tua yang sudah ditinggal
pemiliknya. Bau aliran sungai yang dangkal dan berlumpur memenuhi
indera penciuman sepanjang jalan saya menuju arah laut. Beberapa warga
keheranan melihat saya yang sepagi ini sendirian melewati jalanan bau
dan sepi entah bertujaun kemana. Tempat saya berjalan ini sepertinya
memang bukan rute untuk turis menuju Sunda Kelapa. Tampak di kejauhan
mereka-mereka yang asik berjudi gaplek terlindung oleh sepinya kolong
jembatan layang. Seorang diri, di jalanan sepi nan menyeramkan. Saya
cukup was-was berimajinasi akan dikejar dan dirampas oleh para bajing.
Titik cerah mulai tampak, setelah sekitar dua puluh menit berjalan,
saya mendengar deru jalan raya. Benar saja, jalanan itu ramai dengan
lalu lintas truk pelabuhan, dan menara-menara gudang tua khas syahbandar
sudah menyambut saya di kejahuhan. Setali tiga uang, ternyata jalan
yang tadi saya lewati adalah jalur utama masuk ke Batavia di masa lalu.
Di ujung jalan, saya temukan gapura Batavia, dan prasasti tentang
Jakarta di tepi sungai. Jalan utama masa lalu tadi, telah berganti
seolah menjadi jalur menuju sarang penyamun hari ini. Sungguh malang
nasibmu hai mempelai Den Haag.
Salah satu sudut museum Bahari
Panorama Jakarta dari jendela museum Bahari
Saya
berubah pikiran dan mengurungkan niat mencari Sunda Kelapa. Pejalan
labil ini mendadak tertarik dengan sebuah bangunan yang dari luar tampak
seperti gudang pelabuhan tua. Bangunan ini berderet-deret panjangnya,
berdiri gagah di depan sebuah pasar tradisional. Di depan jalan masuk
terdapat menara yang terbuat dari kayu dan di bawahnya terdapat neon box
yang bertuliskan Museum Bahari. Wah, saya terlupa akan museum yang satu
ini. Memang terletak cukup jauh dari museum-musuem lainnya di kawasan
kota tua Jakarta, tetapi museum ini tentulah tidak kalah menarik untuk
dijelajahi.
Saya mendatangi loket pembelian tiket. Seorang petugas
dengan ramah berkata bahwa museum baru buka setengah jam lagi, tetapi
saya diijinkan menunggu di kursi tamu di lobby museum. Saya buka
bungkusan berisi gorengan yang sempat saya beli di depan museum untuk
mengganjal perut dan mengisi waktu hingga museum siap menyambut saya.
Rute memasuki museum ini akan dimulai dari menara Syahbandar di sebelah
gedung kantor, dan kemudian masuk ke komplek pergudangan di depan pasar
yang telah disulap menjadi museum berkelas yang menyimpan cerita
kejayaan maritim kita.
*Beberapa foto perjalanan hilang karena masalah memory card :”(
0 comments:
Post a Comment