Luruskan pandang ke daratan tandus, ke petak-petak garam
Kelaut lepas, layar putih-putih, perahu-perahu bebas
O laut Jawa di belakang desa-desa sengsara
Laut Jawa di belakang kejatuhan dan kebangkitan suatu bangsa
Kelaut lepas, layar putih-putih, perahu-perahu bebas
O laut Jawa di belakang desa-desa sengsara
Laut Jawa di belakang kejatuhan dan kebangkitan suatu bangsa
Laut adalah kita, perahu-perahu berkuasa
Dari Arafura, Selat Sunda, Selat Malaka
Demikian sejarah bangsa dalam masa jaya
Sebelum Sultan Agung dan monopoli kapal dagang bersenjata
Dari Arafura, Selat Sunda, Selat Malaka
Demikian sejarah bangsa dalam masa jaya
Sebelum Sultan Agung dan monopoli kapal dagang bersenjata
Laut adalah kita, sebelum cengkeh dan pala
Laut adalah kita, sesudah minyak dan baja
Perahu-perahu begitu manis, kapal-kapal lebih perkasa
Luruskan pandang ke laut, laut yang merdeka
Laut adalah kita, sesudah minyak dan baja
Perahu-perahu begitu manis, kapal-kapal lebih perkasa
Luruskan pandang ke laut, laut yang merdeka
Pada sebuah prasasti di dinding Museum Bahari
Derit
kayu tua yang menjadi anak tangga menara syahbandar menemani langkah
kaki menapaki bagian pertama dari Museum Bahari Jakarta. Ketika itu
menara ini sedang direnovasi. Bau cat merah pelapis gedung masih terasa
menyengat hidung. Tampak dua tukang wira-wiri di dalam menara kontrol
pelabuhan di masa lalu itu. Ketika saya bertanya kepada petugas apakah
boleh masuk menara ketika sedang direnovasi, mereka dengan yakin
menjawab boleh bahkan seperti menyarankan agar saya naik hingga puncak.
Sepertinya renovasi menara itu hanya sekadar pengecatan, bukanlah
perombakan yang membuat struktur bangunan menjadi tidak aman bagi
manusia berbeban lebih seperti saya.
Derit tangga berakhir di
ruang berdebu dan apek di puncak menara. Aroma kayu tua dan debu entah
dari beratus tahun lalu seolah tidak mempan ditiup oleh angin semilir
dari empat jendela lebar yang terbuka. Menara syahbandar ini tentulah
menjadi menara vital pada masa jaya Sunda Kelapa. Menara ini menjadi
tempat bandar pelabuhan memutuskan apakah kapal boleh melepas sauhnya
atau tidak. Menjadi pusat kontrol hilir mudik niaga di Batavia. Menara
ini juga menjadi pusat kuasa cukai para priyayi yang bergantung pada
sekor maritim dan niaga. Menara ini adalah pengontrol salah satu bandar
terbesar di Asia pada zamannya.
Tampak dari kejauhan kapal
neyalan mondar-mandir di teluk Jakarta dan pemandangan pasar kumuh tepat
di bawah menara. Di kanan menara terdapat aliran kali yang berujung
pada pintu air, dan di kanan menara terlihat pemukiman elit berdiri
gagah, terus menuju barat. Di selatan menara, tampak megahnya Jakarta
yang penuh gedung tinggi berselimut pekatnya polusi. Tempat ini seolah
menjadi teropong Jakarta dari utara, menjadi saksi perkembangan ibu
kota. Fungsi menara ini sedikit banyak masih sama, menjadi pengawas
gerak-gerik manusia di sekitarnya.
Deretan perahu dari penjuru negeri
Potret Laksamana Malahayati
Perlajanan
jelajah museum bahari berlanjut ke gedung utama. Sekitar 50 meter dari
menara syahbandar, saya melihat deretan gedung beratap tinggi-tinggi dan
berdinding tebal khas gudang pelabuhan kolonial. Ternyata gedung utama
museum ini memanglah sebuah gudang penyimpanan rempah-rempah yang
dibangun pada tahun 1773. Pantaslah jika gedung ini adalah bekas gudang,
pasalnya gedung ini begitu luas dengan ruang sedikit sekat dan
jendela-jendela kecil berteralis untuk menjaga kemanan rempah dari
tangan-tangan jahil. Sejak tahun 70an pemerintah DKI mengubah tempat ini
menjadi sebuah museum. Isi museum bahari adalah replika dan miniatur
kapal, perahu dan peralatan melaut dari seluruh Indonesia.
Museum
ini juga menjelaskan asal muasal penjelajahan samudera di dunia, dan
penjelajahnya di Indonesia. Dimulai dengan Ibnu Batutah, hingga
Laksamana Malahayati. Di museum ini saya sungguh tercengang mengetahui
ada seorang wanita Aceh yang telah menjadi laksamana ulung penakluk
lautan. Laksamana Malahayati adalah seorang keturunan Kesultanan Aceh.
Ia mempimpin 2000 Inong Balee (janda-janda pahlawan), berperang melawan
kapal dan benteng Belanda serta membunuh Cornelis De Houtman dalam
pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Laksamana Malahayati di
zaman itu telah membuktikan diri sebagai pejuang tangguh di atas lautan
nusantara.
Puas tenggelam dalam kisah penakluk lautan, saya
pergi ke sudut-sudut lain museum. Sepi dan mencekam khas museum yang
pernah saya kunjungi, juga menghampiri saya disini. Saya turun ke lantai
bawah tempat replika perahu nusantara dipajang. Perahu dan kapal yang
disimpan diantaranya perahu Pinisi, perahu bercadik hingga sampan
berukir motif Dayak. Di dinding-dinding museum terpatri info grafis
tentang pelabuhan di Indonesia, yang terasa lebih mirip pesan sponsor
yang jauh dari kata informatif. Alat navigasi kuno tuga tersimpan di
museum ini. Mulai dari peta kuno Batavia, hingga kompas kapal-kapal yang
lebih modern tersimpan dengan berselimut debu tipis, mungkin jarang
dijenguk oleh petugas museum.
Miniatur perahu Pinisi
Dipotret dari halaman tengah museum
Saya
mencoba menjelajahi ruang terbuka museum. Halaman tengah museum ini
cukup lapang, dan terasa seperti halaman sebuah benteng karena
dikelilingi tembok-tembok tinggi dan jendela-jendela yang berumlah cukup
jamak. Baik jika tempat ini dimasa datang bisa lebih ditata dan
diekspos karena saya yakin akan menarik kaum muda datang ke museum ini.
Kesan vintage bangunan yang berhias kusen pintu lengkung dan meriam tua
cocok sebagai latar foto estetis penghias media sosial. Bisa saja
dikemudian hari halaman tengah museum dibuatkan diorama bahari ataupun
miniatur kapal yang bisa dinaiki. Ide tadi hanyalah sekadar untuk
menarik pengunjung ketempat yang kunjungannya tergolong sepi ini.
Puas
berkeliling museum dan merasakan kesialan kehilangan beberapa foto
akibat rusaknya memori handphone, saya bergegas kembali ke kota tua
Jakarta dengan bajaj yang sedari tadi ngetem di depan menara syahbandar.
Waktu saya masih cukup untuk mengunjungi satu museum lagi sebelum
menuju hotel untuk check in dan beristirahat. Matahari Jakarta membuat
kulit kaki saya belang karena hanya terlindung sandal gunung. Pipi saya
sampai memerah akibat sengatan surya di tepi teluk Jakarta. Semoga saja
merah di pipi ini semerah semangat para nelayan negeri ini untuk terus
melaut. Merah seperti semangat nenek moyang kita yang adalah pelaut,
yang mampu menaklukan samudera yang takkan pernah berhenti bergelora.
-THE END-
0 comments:
Post a Comment