“Laut tetap kaya takkan kurang, cuma hati dan budi manusia semakin dangkal dan miskin.”
― Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai
Seuntai
kata Pramoedya dari buku Gadis Pantai menjelaskan kepada kita bahwa
manusia bisa saja semakin serakah, semakin ceroboh dengan alam dan adat
istiadatnya. Tetapi alam dan laut, dengan segala kerahimannya akan tetap
kaya dan tulus menyediakan tempat bagi setiap manusia untuk berlindung
dan memetik kehidupan dari kekayaannya.
Kehidupan laut dan pesisir
entah kenapa selalu saja menarik bagi saya. Pesisir pantai adalah awal
dari globalisasi dunia. Pantai menjadi jalan masuk kebudayaan baru,
jalan masuk pemikiran baru, dan harapan hidup baru. Pendaratan para
imigran, pendaratan tentara perang, pendaratan kaum Melayu Proto dan
Deutro, atau
pendaratan para pedagang Persia dan China, terjadi di pesisir pantai.
Pantai
menjadi saksi bisu sejarah umat manusia. Pantai menjadi saksi bisu
berkembangnya sebuah kota yang mulanya hanya tempat berkumpul para
pedagang, menjadi bandar
terbesar di Asia. Pantai juga menjadi saksi pertumpahan darah, tempat
tercetusnya
perang antara kaum koloni dan penguasa lokal. Pantai, pesisir, laut, dan
pelabuhan memiliki daya pikat yang tak akan pernah habis untuk
dijelajahi.
Pagi di terminal Terboyo Semarang, tempat kami naik bus menuju Lasem.
Minggu
lalu saya bertemu teman blogger TBI, yaitu kak Tekno Bolang dari
Lostpacker.com, dan kak Indri dari Tindaktandukarsitek.com, di
acara workshop TravelNblog3
di Semarang. Di hari terakhir workshop, kak Bolang
mengajak saya untuk ikut pergi ke Lasem, sebuah kota di pesisir utara
Jawa Tengah. Lasem memang telah lama tertulis dalam bucket list saya
sebagai tempat prioritas yang harus dikunjungi, dan telah lama pula
kuliah dan tugasnya menjadi penghalang saya
untuk pergi kesana. Kali ini saya nekad. Saya harus ke Lasem,
dan mewujudkan satu lagi impian dalam bucket list traveling saya. Saya
bolos
kuliah demi Lasem!
Pemandangan Ladang Garam menuju Lasem
Lasem
adalah kota kecamatan dengan penduduk sekitar 45 ribu jiwa, dan luas 45
km
persegi. Kota pesisir ini merupakan kota terbesar kedua di kabupaten
Rembang,
setelah kota rembang. Sedari dulu kota ini terkenal dengan sebutan
Tiongkok
kecilnya Jawa. Konon, hanya pesisir Lasem dan Semarang yang boleh
didarati pedagang Tiongkok, pada masa Jawa Tengah masih dibawah
kekuasaan Mataram. Lasem
juga menjadi tempat mendaratnya salah satu armada kapal Cheng Ho, yang
kemudian
bersatu dengan masyarakat lokal dan menghasilkan keturunan peranakan
hingga sekarang.
Karena panjangnya sejarah Lasem dan kaum Tionghoanya, Lasem mewarisi
banyak
budaya Tionghoa, mulai dari tata kota, bentuk rumah, bahasa, makanan,
pakaian,
hingga tradisi keagamaan. Hal ini membuat cerita tentang sejarah dan
budaya Lasem selalu memikat bagi
saya sejak dulu, ditambah fakta bahwa Lasem juga memiliki kekayaan
kuliner dan
pemandangan yang spektakuler. Sayapun langsung jatuh cinta pada
pandangan pertama
dengan Lasem.
Gandul, Manyung, Sampai Kopi Lelet
Nasi Gandul Khas Pati
Menuju
Lasem, anda akan melewati beberapa kabupaten di daerah pantura Jawa
Tengah seperti Demak, Kudus, Pati dan Rembang, yang tentunya memiliki
daya tarik
tersendiri. Saya dan kak Indri memulai perjalanan menyusuri pantura
dengan berangkat subuh hari dari Semarang, untuk terlebih dahulu turun
di Pati bertemu kak Bolang dan menyantap nasi gandul. Pantura memang
telah membuat kami terlena dengan cerita kulinernya, selain pesona lagu
dangdut dan kota pesisirnya. Di Pati, kami turun di Perempatan Puri dan
tak jauh
dari sana, penjual nasi gandul dan kak Bolang telah menunggu
kedatangan kami. Nasi gandul ini unik, nasi dengan taburan daging sapi,
paru,
babad, otak, dll, sesuai pilihan bagian sapi mana yang anda inginkan,
dan di siram
dengan kuah santan dan kecap. Rasanya gurih dan manis, cocok disantap
untuk sarapan
pagi ataupun makan siang.
Ndas Manyungnya Juara
Beberapa
kilometer dari Pati, ada kota kecil bernama Juwana. Selain sebagai penghasil
Bandeng, Juwana juga terkenal dengan masakan Ndas Manyungnya. Ndas manyung
adalah masakan kepala ikan manyung dengan kuah santan yang pedas dan panas. Masakan
ini merupakan favorit saya dari semua masakan pantura, karena pedasnya yang
mantap. Di Juwana, rumah makan ndas manyung menyajikan masakannya dengan porsi
yang besar. Satu kepala ikan bahkan cukup untuk disantap oleh dua sampai tiga orang,
meskipun hari itu saya menghabiskannya sendiri.
Kopi Lelet khas Lasem
Lasem
juga tidak kalah unik kulinernya. Di Lasem saya mencoba kuliner khas pantura
peranakan seperti botok udang, kepiting rajungan, sayur mangut, dan kopi lelet.
Kopi lelet tidak hanya sekedar kopi, tetapi juga sudah menjadi tradisi masyarakat Lasem. Kopi lelet
adalah kopi hitam yang cara meminumnya dituangkan ke piring dan kemudian sisa
ampas kopi di piring “dileleti” atau diukir diatas rokok. Konon, cita rasa rokok akan lebih enak jika
telah dilumuri dengan sisa ampas kopi yang mengering. Kopi lelet banyak
tersebar di Lasem dan harus anda coba jika bertandang kesini. Anda tidak perlu
merokok untuk mencoba kopi lelet, membatik diatas rokok saja sudah merupakan
hal yang mengasyikan.
Candu, Kelenteng sampai Hindis
Lawang Ombo
Pak Gandor memperlihatkan lubang untuk menyelundupkan candu.
Tiba
di Lasem kami dijemput oleh seorang bapak bernama Pak Gandor. Beliau adalah
ketua pengurus budaya Tionghoa Lasem yang mengurusi Kelenteng dan budaya
Tionghoa di Lasem. Kami dibawa mengunjungi Lawang Ombo, sebuah rumah kuno Tionghoa dengan
pintu yang lebar. Lawang Ombo merupakan salah satu rumah pengusaha Tionghoa
yang memperdagangkan Candu atau Opium di masa lalu. Pada masanya, Lasem menjadi
salah satu pusat peredaran opium dan candu terbesar di Jawa Tengah. Untuk
mensiasati agar bisnis terlarang itu tidak ketahuan oleh tentara kolonial, maka
di rumah-rumah pengusaha dibuat jalan bawah tanah menuju sungai tempat
berlabuhnya kapal pembawa opium. Lawang Ombo dan rumah candu lainnya memang terletak tidak
jauh dari tepi sungai yang menjadi tumpuan bisnis illegal mereka.
Kelenteng Cu An Kiong
Keramik yang dilukis di dinding kelenteng.
Tak
jauh
dari Lawang Ombo, terdapat Kelenteng Cu An Kiong, yang merupakan
Kelenteng
tertua di Lasem. Kelenteng ini dibangun pada abad 13 dan masih berdiri
kokoh
hingga hari ini. Merupakan satu dari tiga Kelenteng di Lasem yang
terkenal, Cu
An Kiong masih sering menjadi pusat peribadatan para pengaut Tri Dharma
di Lasem.
Mengunjungi Kelenteng ini, anda akan terpesona dengan lampion, ukiran
kayu dan keramik
dindingnya yang dilukis aksara Tionghoa. Di kelenteng ini juga terdapat
tandu bagi patung-patung dewa yang ditaburi bubuk emas, yang akan diarak
keliling kota Lasem pada
saat-saat tertentu. Kelenteng Cu An Kiong melengkapi kayanya negeri ini
dengan
pusaka dan adat istiadatnya.
Dengan Opa di rumah Oma Opa
Selain
Kelenteng, Lasem juga menyimpan kekayaan arsitektur rumah tua Tionghoa
lainnya.
Di kampung Karanganyar, terdapat deretan rumah tua berarsitektur budaya
Tiongkok, dengan atap lengkung dan pagar tingginya. Jalan-jalan sepi
tempat berderetnya rumah tua ini sangat cocok buat
anda pengemar fotografi ataupun selfie, karena menghadikan suasana
vintage dan estetik. Bagi penyuka hal yang lebih ilmiah, deretan rumah
ini menyimpan sejarah panjang akulturasi budaya Tionghoa di Indonesia
yang menarik untuk ditelusuri. Sayangnya, rumah-rumah ini kebanyakan
telah ditinggalkan. Anak-anak yang diwarisi rumah
ini oleh orang tuanya telah banyak merantau ke Semarang, Jakarta,
Surabaya dan
kota lain untuk menuntut ilmu ataupun berbisnis. Lasem pun menjadi kota
mati, tempat sejarah jayanya pelabuhan kota ini di masa lalu terkubur
diatara kokohnya gunung Lasem, dan teriknya Laut Jawa.
Teras Belakang Rumah Tegel
Pabrik Tegel di samping rumah
Rumah
tua lain yang menarik adalah Rumah Tegel. Rumah ini pada masa lalu
merupakan milik seorang pengusaha Tionghoa yang memproduksi Tegel atau
lantai yang terbuat
dari campuran semen dan bahan lainnya. Tidak seperti rumah Tionghoa
lainnya,
rumah ini berarsitektur Hindis, dan bertata letak seperti rumah
bangsawan
Eropa. Konon katanya sang pemilik adalah seorang yang sangat moderat dan
menyukai gaya hidup orang Eropa, sehingga ia mengikutinya hingga pada
bentuk
rumah tinggalnya. Rumah ini terdiri dari beberapa paviliun.Di rumah
utama, terdapat teras depan yang luas, khas teras rumah Hindis yang
berfungi sebagai tempat menerima tamu. Di bagian belakang terdapat pula
teras serta
taman dengan air mancur yang seolah menjadi tempat pesta kebun para
bangsawan
di masa lalu. Tidak jauh dari taman, terdapat bangunan pabrik tegel yang
sekarang sudah tidak terawat. Selain rumah tegel, banyak lagi
rumah-rumah di
Lasem yang unik modelnya dan menarik untuk bisa anda kunjungi.
Gunung, Laut, Sampai Batik Tulis
Guest house antik kami
Di Lasem
kami menginap di Guest House yang dikelola oleh Lasem Heritage Trail, komunitas
lokal penggiat wisata pusaka Lasem. Guest house ini menempati rumah tua yang
telah dibersihkan dan ditata ulang, agar layak untuk tempat menginap para tamu. Rumah ini membawa saya terbayang menjadi seorang
bangsawan yang hidup dalam rumah yang bergaya Hindis dengan pintu-pintu dan
jendela yang tinggi dan lebar, kaca-kaca patrinya dan kokoh tembok tebalnya. Saya betah tinggal di guest house ini.
Surga mana lagi yang ku dustakan
Mengejar masa depan
Pagi
hari, kami beranjak menuju daerah utara Lasem untuk mengejar matahari
terbit. Di ujun jalan Dasun, anda akan menemukan pemandangan spektakuler
sunrise dengan latar persawahan dan gunung Lasem. Lasem adalah kota
yang diapit
oleh laut dan pegunungan, menjadikan kota ini kaya baik hasil laut dan
pertaniannya. Saya bisa membayangkan kerennya pemandangan di puncak
gunung
Lasem yang langsung berbatasan dengan laut Jawa. Ditempat kami melihat
sunrise,
kami berjumpa dengan anak-anak muda yang pergi ke sekolah, dan warga
yang
beranjak ke sawah. Sungguh pemandangan yang bisa menyegarkan pikiran
yang
sedang penat, serta menjadi sumber ide-ide ketika sedang miskin
inspirasi. Tempat ini juga sekaligus menjadi ironi bagi saya yang
membolos kuliah demi melihat anak-anak pergi sekolah. Tapi
biarlah, semoga ini menjadi pelecut semangat saya untuk cepat selesai
kuliah
dan bisa jalan-jalan dengan bebas.
Ladang garam di muara Sungai Lasem
Bukan infinity pool hotel bintang 5
Tidak
jauh dari spot melihat sunrise, terdapat muara dari sungai Lasem. Kami
menuju
kesana dan mendapati pemandangan yang lebih spektakuler. Ladang-ladang
garam
menghampar dengan diselingi mangrove di tepi sungai, serta gunung Lasem
yang
tidak beranjak dari tahtanya. Pemandangan pagi yang amat jarang saya
temui. Saya
berada tepat di muara sungai yang dulunya menjadi jalur masuk opium ke
Lasem. Sungai ini masih menjadi sumber penghidupan warga yang mencari
ikan dengan
jala-jala raksasa yang berdiri di kanan dan kiri sungai. Di muara ini
juga berdiri
dermaga tempat berlabuh para nelayan kecil dari perjuangan mencari
nafkahnya. Memang susah untuk digambarkan dengan kata-kata cantiknya
muara ini.
Feeling is believing, dan anda harus ke Lasem untuk merasakan bertapa
luar
biasanya alam di tempat ini.
Muara yang ratusan tahun lalu jadi jalur masuk opium
Sepulang
dari muara, kami kembali ke guest house dan bersiap-siap pulang ke
Semarang. Bolos kuliah saya sepertinya
sudah tidak bisa diperpanjang lagi, meski godaan tempat-tempat lain di
Lasem yang eksotis terus memanggil-manggil saya. Setelah check out dari
guest house, kami
diajak melihat pusat pembuatan batik tulis Lasem, milik Ibu Sutra
sebelum menuju ke terminal bus Lasem. Sentra produksi batik ini terletak
di teras belakang sebuah
rumah kuno milik pengusaha Tionghoa Lasem. Semua pembuatan batik disini
di
kerjakan oleh ibu-ibu dan semuanya adalah batik tulis. Kagum rasanya
melihat
lincahnya tangan para ibu mengukir pola batik lasem diatas kain putih
yang tak
lama kemudian menjadi kain batik bernilai jutaan rupiah. Sayang, tidak
tampak
ada anak muda yang mengerjakan batik tulis tersebut. Batik dengan model
klasik
ini pun terancam untuk ditelan jaman pula, semoga saja tidak demikian.
Kain dicuci terlebih dahulu.
Membatik batik Lasem
Lasem
ahirnya berhasil saya jelajahi. Tempat yang dulu hanya sekedar impian ini telah
memberi saya banyak pelajaran. Pelajaran yang tidak akan pernah saya dapatkan
di bagku kuliah ilmu komunikasi saya. Saya tidak merasa rugi memboolos kuliah
kali ini, karena saya mendapatkan pelajaran tentang tulusnya hidup, perjuangan,
dan keharusan untuk mencintai masa lalu. Karena hari ini kita ada, karena kita
di masa lalu.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.
0 comments:
Post a Comment