Pasar
merupakan sesuatu yang vital bagi sebuah kota. Di pasar terjadi
pertukaran barang dan uang.
Di pasar pula, harga pasar yang menjadi acuan dasar harga lain
terbentuk, dan
interaksi antar masyarakat terjadi. Pasar juga merupakan gambaran
kemajuan kota. Semakin ramai, besar dan lengkap pasarnya, maka dianggap
semakin maju kota tersebut.
Jika
mengunjungi suatu kota, Saya sebisa mungkin akan mengunjungi pasar tradisional
kota tersebut. Dengan mengunjungi pasar tradisional, kita dapat menemukan
komoditi khas lokal yang unik dan otentik. Seperti ketika di Jogja, saya
berkunjung ke pasar Prawirotaman, dimana saya bisa membeli jajanan khas Jogja
seperti tiwul, gethuk dan candil. Di Singapura, saya juga ke pasar dan
mencicipi panganan khas negeri Merlion seperti tofu dan makanan peranakannya.
Saran saya, mulailah berkunjung ke pasar tradisional jika anda traveling ke
suatu kota.
Salah satu sudut pasar tradisional di Jogjakarta
Kota Semarang pernah memiliki pasar
dengan
julukan pasar terbesar dan tercantik di Asia Tenggara di zaman
kolonial dulu. Pasar Johar merupakan pasar induk Kota Semarang, dan menjadi
pasar tradisional tertua di Semarang. Pasar ini dirancang oleh arsitek ternama
Thomas Karsten, yang juga merancang kota lama Semarang. Pasar yang selesai
dibangun tahun 1938 ini merupakan pasar yang sangat indah arsitektur
bangunannya. Pada zamannya, bangsawan hingga rakyat rendahan senang berbelanja
di pasar Johar. Pasar yang memiliki bangunan seperti cendawan ini sangat
menarik bagi saya. Sang arsitek berhasil merancang bangunan pasar yang megah,
tetapi tetap mampu menerima sinar matahari dan tidak pengap karena sirkulasi
angin yang bersumber dari ventilasi di atap bangunannya. Pasar ini sejak
berpuluh tahun lalu telah menjadi salah-satu ikon kota Semarang. Setiap
wisatawan yang ke Semarang belum sah menejelajah kota ini jika belum ke pasar
Johar.
Arsitektur atap cendawan di Pasar Johar
Saya sebagai perantau yang tinggal di
Semarang, cukup akrab dengan pasar ini. Ketika ibu saya mengunjungi saya di
Semarang, ibu suka membeli pakaian untuk dijual kembali di Pontianak dari pasar
Johar. Pasar Johar meyediakan batik-batik yang relatif murah dan bagus
motifnya. Ketika ibu sudah habis stok pakaiannya, maka saya lah yang sering
disuruh ibu berbelanja di Johar, untuk setelahnya saya paketkan ke Pontianak.
Tawar-menawar dan diplomasi pasar saya rasakan pula dengan para pedagang pasar
ini. Pasar Johar selalu riuh dengan semangat pedagang dan pembelinya.
Sebagian kulakan batik saya :D
Selain pakaian, pasar ini juga
menjual alat elektronik, oleh-oleh haji, kosmetik, plastik, sayur, ikan asin,
ayam, ikan, dll. Pasar ini merupakan pasar yang sangat lengkap barang-barangnya.
Hampir setiap orang Semarang yang ditanya dimana mencari suatu barang yang
langka atau jarang di pasaran biasa, pasti jawabannya ada di Pasar Johar. Saya
bahkan pernah menemani seorang teman membeli televisi di pasar ini. Sebagai
mahasiswa, kami suka mencari merek barang elektronik asal China yang harganya
murah. Tentu merek “cina” yang kami incar tidak ada di pasar modern,
tetapi pasar Johar menyediakannya untuk kami. Televisi merek Tiongkok itu kami
dapatkan setengah harga dari merek-merek kelas atas dengan kualitas yang cukup
mumpuni untuk kelas mahasiswa. Sunggah pasar Johar telah berjasa bagi kami
pejuang-pejuang rantau agar bisa tetap menonton televisi.
Pasar Johar terkadang macet dan banjir
Meskipun sudah menjadi sangat kumuh,
pasar ini tidak menyurutkan niat para pembeli berbelanja di Pasar ini. Zaman
yang berganti memang membuat pasar ini kehilangan pamor cantik dan bersihnya.
Johar hari ini dianggap menjadi pasar yang marak terjadi aksi pencopetan. Tanda
awas copet bertebaran di dinding-dinding renta pasar ini. Tujuh ribuan kios
pedagang seolah menegaskan bahwa pasar Johar merupakan pusat keramian yang
memudahkan terjadinya aksi kejahatan. Lorong yang sempit dan berdesakan membuat
tangan tidak bertanggung jawab semakin liar beraksi. Awalnya, saya dan ibu memang agak
takut berbelanja ke pasar ini. Takut di copet, takut dibohongi penjual, dan
berbagai alasan lainnya mengurungkan niat kami berbelanja di pasar Johar. Kami
hanya berani berbelanja di pasar Yaik di sebelah Johar yang cukup lapang dan
masih tergolong pasar baru. Hingga suatu hari kami nekat ke Johar, dan jatuh
cinta dengan kelengkapan barang-barangnya. Naluri seorang ibu membuat ibu
saya tidak takut untuk blusukan di pasar Johar. Malah saya anak lelakinya ini yang
terus mencegahnya agar tidak berbelanja di pasar Johar akibat stigma buruknya.
Sejak momen nekat itu, ibu selalu pergi ke Johar bersama saya setiap kali ke
Semarang, dan saya perlahan mulai mencintai pasar ini.
Pasar Johar juga menjadi pusat Dugderan Semarang, pasar malam menyambut bulan puasa.
Pasar yang masih mampu bertahan ditengah
gerusan mall dan hypermarket ini, kini tinggal kenangan. Pasar ini harus takluk
dilahap si jago merah pada Sabtu 9 Mei 2015. Hingga 18 jam kemudian, api bahkan belum
bisa dipadamkan. Kompleks pasar Johar yang juga terdiri dari pasar Yaik Permai
dan Yaik Baru luluh lantak dan tinggal menyisakan puing kejayaan. Ketika saya beritakan kepada ibu kejadian ini, sedih dan
prihatin terdengar dari suaranya. Seketika saya mengingat jasa Johar yang
pernah menjadi salah-satu sumber pemasukan ekonomi keluarga kami. Tanpa ibu-ibu
pedagang Johar, mungkin sulit bagi ibu saya menemukan sumber kulakan baju yang
menguntungkan di Semarang. Jika ibu saya tidak kulakan di Johar, mungkin saya
tidak akan pernah menjejakan kaki di pasar yang menjadi cagar budaya ini.
Semoga saja api tidak menghancurkan pula semangat para pedagang, kuli panggul,
dan mereka-mereka yang menggantungkan hidup di pasar kebanggan warga Semarang
ini.
0 comments:
Post a Comment