Sampilah saya pada
cerita soal tempat berteduh. Soal tempat yang harus dipastikan jauh hari
sebelum berkelana agar bisa mendapat persetujuan visa. Pada tempat yang akan
menjadi rumah kami untuk tujuh belas hari kedepan. Rumah yang berada jauh
sekali dari rumah saya yang sesungguhnya. Tetapi rumah ini bagi saya
telah menjawab banyak pertanyaan dan memberi banyak pelajaran tentang kehidupan
sehari-hari seorang Londoners yang tinggal di pinggir kota.
Mencari tempat
menginap di London bukanlah perkara sulit sebetulnya. Ratusan hotel, hostel
hingga apartemen yang bisa disewa tersedia di kota kosmopolitan ini. Tetapi
bagi saya dan teman-teman, kami harus memastikan tempat menginap kami memenuhi
beberapa syarat seperti harus murah, mudah di akses dan yang terpenting aman
dan kondusif untuk kami bisa belajar, karena kami tidak sekadar berwisata di
London.
Karena rombongan kami
adalah angkatan ke enam yang diutus pergi ke London, kami mendapat rekomendasi
untuk menginap di Wisma Siswa Merdeka. Wisma ini dikelola oleh KBRI dan memang
diperuntukkan bagi pelajar Indonesia yang butuh tempat menginap di London.
Tentu karena wisma ini untuk pelajar, harga yang ditawarkan sangat miring dari
penginapan konvensional dan tempatnya cukup representatif untuk belajar.
Apesnya nasib kami, Wisma Mereka sedang direnovasi dan ditutup untuk mereka
yang ingin menginap. Pupus sudah harapan saya dan teman-teman untuk berteduh
nyaman di Wisma Merdeka.
Wisma Indonesia
Pajangan di Wisma Indonesia
Indomie ketika jauh dari rumah itu adalah nikmat yang tak perlu didustakan
Kami memilih
alternatif lain yaitu Wisma Indonesia, sebuah rumah yang diperuntukkan untuk
umum dan dikelola mandiri oleh pasangan Indonesia pak Ahmad Firdaus dan ibu
Usya Suharjono. Penginapan ini telah terjamin kenyamananya. Dengan sarapan pagi
menu Indonesia yang telah tersedia, dapur, kamar tidur yang nyaman, dan gratis
makan Indomie, Wisma Indonesia adalah suatu nikmat yang tidak dapat kami
dustakan ketika berada di negeri orang. Wisma indonesia juga berada di dalam
komplek perumahan. Artinya saya akan menginap di sebuah rumah khas Inggris. Saya
akan tinggal di komplek perumahan seperti Pivet Drive di cerita Harry Potter,
atau rumah Mister Bean yang sudah melekat pada benak saya sejak kecil.
Menginap di Wisma
Indonesia membuat saya banyak belajar tentang hidup di sebuah rumah ala
Inggris. Rumah ini berada di kawasan yang cukup elit di daerah Collindale,
utara London. Dari luar, rumah ini tampak seolah hanya satu bagian dari rumah
besar yang dipotong dua secara simetris. Bagian rumah yang satunya terpisah
oleh tembok dan sudah menjadi properti milik orang lain. Mirip seperti komplek
perumahan-perumahan deret di Indonesia yang hanya berbataskan tembok.
Karena sudah sekitar
empat puluh delapan jam tidak mandi, saya memutuskan untuk melawan udara dingin
dan mencoba toilet ala Londoners di rumah ini. Saya juga teringat film
Paddington yang berlatar kehidupan Londoners yang mengajarkan beruang
Paddington untuk mandi setelah melalui perjalanan jauh. Toilet di rumah ini
adalah toilet kering, bahkan tidak ada semprotan di sebelah kloset duduknya. Satu-satunya
sumber air adalah washtafel, dan keran shower. Sebagai pengganti semprotan
kloset, tisu gulung tersedia sangat banyak di toilet ini. Pasangan Indonesia
yang tinggal di rumah ini tentu sudah lama meninggalkan gaya toilet basah
Indonesia.
Sekilas Toilet
Peringatan dengan
huruf yang tebal juga tertempel di dinding kamar mandi, “Dilarang Keras
Membasahi Lantai, Terdapat Panel Listrik Di Bawah Anda”. Ah iya, distribusi aliran
listrik di sini tidak menggantung seperti di Indonesia dengan tiang listrik dan
kabel yang menjuntai. Listrik telah tertanam di bawah tanah, dan menjaganya
tetap beroperasi sungguh sangat penting mengingat tanpa listrik rumah ini akan
menghadapi banyak kendala. Tidak hanya listrik, instalasi air dan gas juga
berada di bawah tanah. Tidak heran banyak rumah-rumah yang memiliki pintu
menuju ruang bawah tanahnya, persis seperti di film-film horor ala Amerika.
Puas mandi air hangat
saya bersiap-siap untuk tidur. Meski badan saya tidak merasakan lelah, tetapi
harus saya paksakan untuk tidur demi ritme jam tubuh yang lebih sesuai. Maklum jam
tubuh saya belum normal. Tujuh jam perbedaan waktu antara London – Jakarta cukup
terasa bagi tubuh saya.
Saya yang seharusnya sedang tidur karena waktu masih
pukul satu dini hari tidak bisa terlelap, karena tubuh saya menganggap saat ini
adalah jam delapan pagi waktu Jakarta. Tetapi udara dingin seolah tidak bisa
dikalahkan oleh penghangat ruangan. Saya juga tidak bisa lepas dari alas kaki
karena lantai yang juga sangat dingin. Kini saya mengerti alasan kenapa
orang-orang dari negeri empat musim sering memakai sendal di dalam rumah. Ingin
rasanya menyalakan perapian tradisional yang ada di dalam kamar. Sayang saya
tidak tahu bagaimana menghidupkannya, karena pemilik rumah ini tidak ada di tempat.
Pupus harapan untuk mengotak atik penghangat yang ternyata diatur secara
sentral di bawah tanah, saya tidur berselimutkan alas tilam, jaket
berlapis-lapis, dan sendal kamar yang terus melekat di kaki.
Kamar “ala Londoner” saya
Penghangat ruangan dan perapian tradisional
Meskipun
seolah kecil
dari luar, rumah ini ternyata memiliki sembilan kamar tidur, dapur,
halaman
depan, dan halaman belakang. Semakin banyak kamar yang dimiliki oleh
suatu rumah
di London, harganya akan semakin mahal. Jangan bayangkan rumah ini
memiliki banyak
ruangan yang luas untuk berkumpul. Begitu masuk dari pintu di depan
rumah,
kesemuanya adalah lorong dan tangga dengan pintu-pintu kamar di kanan
dan kiri. Pusat berkumpul dari penghuni rumah adalah dapur. Dimana
terdapat
sofa yang melingkari meja makan. Disitulah para penghuni rumah berkumpul
untuk
sarapan dan makan malam - yang kebanyakan makanannya dimasak dengan
microwave -
sambil menonton berita di televisi. Tidak ada ruang tamu dan ruang
keluarga
seperti di Indonesia.
Di salah satu sisi
dapur terdapat pintu menuju halaman belakang. Seolah menghidupi memori masa
kecil tentang bermain di halaman belakang dari buku-buku cerita barat yang
sering saya baca, saya akhirnya melihat sendiri bagaimana halaman belakang
suatu rumah di negara barat. Halaman belakang rumah ini jauh lebih besar dari halaman
depannya. Dibatasi dengan tembok kayu yang mengelilingi rumah, terdapat
lapangan rumput, ayunan, meja dan kursi kayu, dan pot-pot tanaman di halaman
belakang rumah ini. Saya kira inilah tempat berkumpul paling menyenangkan bagi
keluarga di musim panas. Menikmati udara segar, pepohonan, bermain ayunan, dan
mengadakan pesta kebun, sepertinya adalah bentuk quality time paling bermakna
bagi suatu keluarga.
Ruang makan
Halaman Belakang
Rumput yang diselimuti embun beku
Setiap rumah di London memiliki
pola yang hampir sama. Bahwa rumah tersebut memiliki halaman depan, dapur
modern, toilet kering, kamar dengan penghangat dan perpian, instalasi gas, air
siap minum, listrik yang siap pakai, dan halaman belakang yang dapat dihias
sesuka hati. Fasilitas bagi perumahan ini adalah wajib untuk dipenuhi setiap
pengembang perumahan. Kualitas hidup yang baik berusaha untuk selalu dijamin di
setiap rumah yang ditinggali. Meskipun begitu, memiliki rumah bukanlah sesuatu
yang mudah di London yang juga menjadi salah satu kota termahal di dunia. Rumah
di kawasan Collindale ini paling tidak berharga sekitar 50 miliar rupiah. Biaya
perawatan rumah yang mampu mejamin kualitas hidup yang baik itu juga tidak
murah. Mau tidak mau penghuni rumah harus berkerja keras untuk tetap bisa membayar
sewa rumah ataupun biaya rutin dari rumah tersebut. Berkerja keras yang bahkan terkadang
membuat lupa untuk bisa pulang kerumah.
0 comments:
Post a Comment