Sumber foto: Koper Traveler
Hingar
bingar perlombaan jelang Tujuh Belas Agustus di dekat rumah memenuhi
telinga saya ketika ingin menulis tulisan ini. Saya sibuk berpikir apa
sebenarnya, sejatinya impian saya untuk dijelajahi di negeri tujuh belas
ribu pulau ini. Sejauh ini saya baru menapaki tiga pulau besar;
Kalimantan, Bali dan Jawa. Tentulah masih jauh dari target pencapaian
daftar bucket list destinasi impian di Indonesia. Tetapi tentulah mimpi
jelajah itu harus terus dihidupi, bernyala dalam diri saya untuk segera
dapat terpenuhi.
Mewarnai Tujuh Belas Agustus 2015 ini, di pesta 70 tahun Indonesia merdeka, saya dan teman-teman Travel Bloggers Indonesia
ingin mencoba berbagi apa destinasi impian kami di Indonesia. Kebetulan
impian saya sevisi dengan bapak presiden kita saat ini, yang berbalik
memunggungi daratan dan mulai menyapa laut biru Indonesia. Sudah sejak
lama saya memimpikan hal ini untuk terwujud. Saya ingin jelajah negeri
ini dengan Kapal Pelni dan berkunjung ke setiap pulau terluar dari
Indonesia.
Pergi ke pelabuhan kecil, melihat kearifan lokal
Mimpi
ini bermula ketika saya berumur 10 tahun. Kala itulah pertama kalinya
saya menyebrangi laut Jawa dari Pontianak menuju Semarang dengan sebuah
kapal ferry. Itulah perjalanan pertama saya menyebrang pulau tanpa
ditemani oleh orang tua. Saya nekat ikut keluarga saya yang ingin
mengantar anaknya berkuliah di Jogjakarta. Beberapa jam sebelum mereka
berangkat ke pelabuhan, saya dengan santainya minta ikut bersama
rombongan paman saya, yang baru saya kenal kala itu ke Jogja.
Beruntungnya orang tua saya memperbolehkan untuk pergi. Tiket kami waktu
itu kelas ekonomi seharga sembilan puluh ribu rupiah. Bertepatan dengan
musim libur, kami tidak kebagian tempat tidur dan terpaksa mencari-cari
tempat yang masih kosong di sudut-sudut kapal. Kami akhirnya bisa
menggelar koran di dek mobil. Bau oli dan minyak menjadi teman tidur
saya yang hanya berbantalkan ransel dan berselimut jaket ditengah
gagahnya truk dan mobil-mobil di dekat kami. Ingat rasanya bagaimana
truk dan mobil tadi berderit setiap gelombang keras menghantam kapal. Di
usia sepuluh tahun saya telah merasakan realita trasportasi laut
Indonesia yang sepertinya masih terjadi hingga hari ini. Tetapi sungguh
pengalaman itu berkesan dan berbuah menjadi impian baru.
Impian melayari pulau-pulau terluar negeri, ikut melaut bersama para nelayan.
Sepulang
pelayaran, saya masih terngiang bagaimana indahnya mentari terbit dan
terbenam dari buritan kapal. Saya juga ingat lawakan lagu dangdut yang
dibawakan seorang kakak yang menjadi teman baik saya di kapal itu. Kami
sering mencengkokkan lagu Laksamana Raja Di Laut dari Iyeth Bustami di
kala sore sambil menunggu mentari terbenam. Teringat juga bagaimana
pertunjukan live musik di restoran kapal, bagaimana angin laut terus
menyeka wajah saya dan pengalaman pertama melihat lumba-lumba yang pamer
diri di haluan kapal. Saya jadi sering membolak balik koran melihat
jadwal perjalan kapal. Kapal Pelni menjadi daya tarik saya kala itu
karena melihat banyaknya pelabuhan yang disinggahinya. Ada satu rute
Pelni yang saya ingat sampai hari ini. Semarang – Kumai – Letung –
Kijang – Blinyu – Midai – Natuna – Pontianak. Saya sangat asing dengan
daerah-daerah yang ada di rute tadi. Mencari-cari, akhirnya saya tahu
bahwa nama-nama tadi ternyata nama dari pelabuhan di pulau-pulau
sepanjang selat Karimata. Tak hanya menyinggahi setiap pelabuhan di
Selat Karimata, ternyata di penjuru lautan lain di negeri ini kapal
Pelni juga setia singgah di pelabuhan kota-kota kecil yang beberapa juga
menjadi pulau terluar negeri ini, dari Sabang hingga Jayapura. Ingin
rasanya mencoba semua rute yang ada dan mengulang cerita tentang
persahabatan yang mudah terjalin di atas kapal.
Tugu Pancasila di Entikong, Perbatasan Malaysia dan Indonesia di Kalbar.
Mimpi
lain adalah ingin menjejakan kaki di setiap tempat terluar negeri ini.
Saya ingin sekali ke Titik Nol Indonesia baik di Sabang maupun Merauke.
Saya juga ingin ke Miangas dan Rote serta jelajah Natuna, Nusa Tenggara,
Papua, Perbatasan Kalimantan dan utara Sulawesi. Ingin rasanya merasa
bangga melihat melihat bendera bangsa ini berkibar di jengkal-jengkal
terakhir tanahnya. Melihat kehidupan masyarakat yang meskipun terpapar
mata uang dan barang negeri jiran, tetapi masih setia dengan jiwa merah
putihnya. Sekiranya, jika ingin menambah rasa cinta pada negeri ini
memang kita harus pergi ke garda terdepan bangsa. Seorang teman pernah
bercerita bahwa kehidupan di perbatasan sungguh indah. Di kecamatan
Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat misalnya. Kecamatan ini
memiliki pantai indah yang langsung berbatasan dengan negara Malaysia.
Pantai ini berpasir putih dengan batuan-batuan besar dan masih sangat
bersih dan sepi, mungkin karena aksesnya yang begitu sulit jarang orang
yang menghabiskan liburan di tempat ini. Saking dekatnya dengan negeri
sebelah, hanya dengan berenang mengendap-endap kita bakan bisa mencuri
masuk negeri jiran itu. Tentulah tidak akan saya lakukan, kecuali saya
memang ingin dianggap mengancam kedaulatan negara tetangga.
Saya di “Demilitarized Zone” antara Indonesia dan Malaysia, dibelakang pintu perbatasan Malaysia. (Pardon my face :”)
Tetapi
hal lain adalah melihat semangat juang para tentara kita di batas
negeri. Mereka yang tulus menjaga dan jauh dari sentuhan Jakarta,
terkadang mendapatkan ransum yang kurang dari cukup. Mereka harus rela
berburu, dan mencari-cari makanan tambahan untuk memenuhi hasrat perut.
Sementara di seberang sana tentara Malaysia begitu berkelimpahan. Tetapi
mereka tidak minder, teman saya menceritakan bahwa tentara ini tetap
mampu membusungkan dada dihadapan tentara jiran karena percaya bahwa
kemerdekaan bangsa ini adalah hasil perjuangan, sehingga berjuang hidup
sudah biasa bagi mereka. Sementara yang diseberang sana kemerdekaannya
merupakan hadiah yang tidak butuh perjuangan, jadi kalau perang tetap
kita yang menang meskipun ransum hanya sekadarnya, celotehnya. Bagi
tentara yang memang harus berjiwa tangguh, semangat mereka sangat luar
biasa meski jauh dari keadaan berada.
Titik nol Sabang. Mitosnya daratan India bisa terlihat samar disini. Foto by: Danan Wahyu
Ingin
tetaplah ingin. Rayuan pulau kelapa ini terus menyeruak untuk segera
dijawab. Menjaga laut kita, mengenal lebih dekat satu-persatu jengkal
tanah dan laut negeri ini tentulah butuh waktu dan dana yang lumayan.
Semoga saya jadi lebih rajin menabung. Semoga para petinggi di Jakarta
sana juga bisa membantu rakyatnya lebih mengenal negerinya dengan
memberikan subsidi moda transportasi umum yang layak dan akses yang
mudah. Semoga tiket pesawat Jakarta – Jayapura segera lebih murah
daripada Jakarta – Bangkok. Sungguhpun aku suka berjalan ke Singapura
atau negeri lainnya, tetapi tetap yang ku rindukan adalah Nasi Goreng
Tek-Tek tujuh ribu yang hanya ada di negeri ini. Aku cinta pada mu
Indonesia, Dirgahayu ke Tujuh Puluh Tahun, dan hiduplah seribu windu
lagi lamanya, selama-lamanya.
- Arie Okta Friyanto, Dream Destination, Banda Aceh
- Astin Soekanto, Inginku Boven Digul Belajar dari Bung Hatta
- Atrasina Adlina, Merawat Pagar Nusantara di Perbatasan
- Citra Rahman, Aceh Destinasi Impian Orang-orang
- Danan Wahyu, Mimpi Anambas
- Dea Sihotang, Tanah Papua, Kamulah My Dream Indonesia
- Edy Masrur, Berbagi Ilmu dan Menimba Kearifan di Wae Rebo
- Eka Situmorang Sir, Pantai Impian
- Fahmi Anhar, Destinasi Impian Nusantara
- Firsta, A Story from Banda Neira
- Hartadi Putro, Banda Neira Ku akan Datang
- Imama Insani, Kapan ke Kakaban
- Indah Purnama, Indonesia Bikin Rindu
- Indri Juwono, Anambas Mimpi Indonesiaku
- Karnadi Lim, Kaldera Toba for UNESCO
- Leonard Anthony, Di Timur Menyongsong
- Liza Fathia, Berkisah tentang Sabang di Hari Kemerdekaan
- Matius Nugroho, 5 Destinasi Impian Indonesia
- Parahita Satiti, Dream Indonesia, Kembali ke Pulau Lombok
- Puteri Normalita, Anambas Surga Tropis di Ujung Negeri
- Rembulan Indira, Mimpi Indonesia Desa Adat Wae Rebo
- Ridwan SK, Tobelo Destined To Be Love
- Rico Sinaga, Ingin ke Misool
- Rudi Hartoyo, Jelajahi Indonesia akankah Kulakukan?
- Shabrina Koeswologito, Give Back for Indonesia
- Tekno Bolang, Sebuah Harap Menyapa Korowai
- Titiw Akmar, Pancaran Nasionalisme dalam Taman Nasional Indonesia
- Tracy Chong, Papua: A Dream Destination Where I Meet This Inspiring Lady
- Vika Oktavia, Tidak Mau Mati, Sebelum …
- Wira Nurmansyah, 5 Destinasi Impian di Indonesia yang Wajib Dikunjungi
0 comments:
Post a Comment