“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”
― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
Setahun sudah sejak saya pergi keluar negeri untuk pertama
kalinya. Ingin belajar dari negeri orang sambil menyebarkan kebaikan Indonesia
adalah salah satu motivasi saya ingin pergi keluar negeri. Singapura menjadi
titik awal keberangkatan saya mendunia. Di Singapura, saya belajar banyak hal,
mulai dari kecintaan terhadap negeri, hingga nasib buruh migran yang ternyata
berbeda dari pemikiran saya selama ini.
Memang menjadi buruh migran acap kali dianggap pekerjaan
rendah, pekerjaan yang dilakukan terpaksa karena tidak ada lagi pekerjaan di
kampung halaman, dan merupakan pekerjaan yang tidak akan bisa merubah kualitas
hidup seseorang. Stigma tersebut semakin kuat ditambah dengan maraknya
pemberitaan aksi kriminal yang dilakukan para buruh migran di luar negeri,
bahkan puluhan buruh migran kini menanti hukuman mati di Negara tempat mereka
berkerja. Hal-hal tersebut membuat buruh migran seolah menjadi beban bagi
bangsa ini. Tetapi bukan salah bunda mengandung bahwa seseorang harus menjadi
TKI atau buruh migran Indonesia di luar negeri. Feeling is believing, dan
Singapura telah membuat saya mengubah semua stigma buruk dalam kepala saya soal
buruh migran Indonesia.
Satu-satunya foto saya dengan mbak Tini, sayang kita tidak berfoto banyak waktu itu.
Sebagai backpacker, saya berhasil mendapatkan cara untuk
pergi ke Singapura dengan irit. Saya mendapatkan host seorang Belanda yang mau
menampung saya selama tinggal di Singapura. Setelah mengelilingi Singapura di
hari pertama saya tiba dari subuh hari, malam harinya saya langsung menuju
daerah Taman Serasi di komplek Singapre Botanical Garden Mansion, kawasan
apartemen di sebelah kebun raya Singapura tempat host saya tinggal.
Saya disambut oleh seorang gadis berkulit kuning langsat
dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. Sambil mengusir anjing-anjing yang
menggonggongi kedatangan saya, ia mempersilahkan saya masuk. Saya kira dialah yang
memiliki apartemen ini, atau teman sang empunya apartemen. Ketika ia bertanya “where
are you from?” dan saya menjawab “Indonesia”, sontak sumringah memancar dari wajah
gadis ini. “Maureen sedang mandi, Herb sedang ke supermarket, saya disuruh buka
pintu tadi” ujarnya. Saya tercengang dengan perasaan bercampur senang dan heran
karena ia menyambung dengan bahasa Indonesia. “Saya Tini, asalnya dari Blora
baru tiga tahun kerja di sini, senang bisa ketemu sudara setanah air di sini”
sambung mbak Tini. Mbak Tini adalah BMI yang berkerja pada Maureen, host saya. Telah
tiga tahun ia berkerja dengan Maureen dan lima tahun sudah ia menjadi perantau
di Singapura. “Baru sekali pulang nih, masa baru tiga tahun minta pulang” jawab
mbak Tini ketika saya tanya sudah pernah pulang atau belum ke Blora.
Apartemen tempat mbak Tini tinggal
Mbak Tini telah mengubah pandangan saya soal BMI. Ketika menyambut
saya dengan bahasa Inggrisnya yang fasih, mbak Tini menegaskan kepada saya
bahwa dia adalah seorang BMI yang bisa suskes di tanah rantau. “Saya kursus
bahasa Inggris sebelum berangkat, gak berani saya kalau masih belum bisa
apa-apa” cerita mbak Tini. Mbak Tini baru berumur 21 tahun ketika mulai
berkerja sebagai BMI. Saat ini ia berusia sekitar 27 tahun dan masih betah
berkerja sebagai BMI. Mbak Tini bercerita bahwa ia bersyukur bisa dapat majikan
yang baik seperti Maureen. Ia bisa memegang pasportnya sendiri, mendapat day off
setiap Sabtu dan Minggu, serta mendapat honor tepat waktu. “Saya pakai buat
kursus bikin kue tiap hari Sabtu, kalau hari minggu saya ke gereja” jawab mbak
Tini ketika saya tanya aktivitasnya sewaktu weekend yang membuat saya kembali
tercengang.
Bagi mbak Tini menjadi BMI bukan alasan untuk berhenti
belajar dan mengembangkan diri. “Ini saya kursus buat kue, bayarnya saya ambil
sebagian dari honor saya, kalau sudah cukup modal nanti saya pulang dan saya
mau bisnis bakery” ujar mbak Tini. Selain itu mbak Tini juga aktif berkomunitas
di sekitar tempat tinggalnya, tidak terbatas orang dari negara sendiri tetapi
juga pada komunitas warga lokal. Menurut mbak Tini berkumpul dengan orang lokal
adalah cara kita belajar budaya mereka agar tidak salah langkah dalam tindakan.
“Saya pernah mendapat majikan yang agak keras, tetapi saya tetap nurut dan
berkerja dengan baik, tau sopan santun, dianya juga baik pada saya kok akhirnya”
kisah mbak Tini.
Mbak Tini terbiasa membersihkan perabotan dengan profesional, seperti yang ada dalam kamar tempat saya menginap waktu itu.
Pekerjaan mbak Tini sehari-hari telah terjadwal dengan baik.
Sang majikan telah membuat daftar tugas harian mbak Tini yang di tempel di
dinding-dinding ruangan. Mbak Tini pun menjadi paham dan mengerti tugasnya, dan
ia tidak akan melakukan pekerjaan yang di luar tugas tersebut sebelum bertanya
dulu atau diminta sang majikan demi menjaga kepercayaan. “Setiap pagi saya
mengajak anjing jalan-jalan, sehabis itu merapikan kamar dan menyapu. Menjelang
siang saya mencuci baju dan berbelanja bahan-bahan makanan, sorenya saya
bersih-bersih lagi dan mulai menyetrika baju” cerita mbak Tini. Tinggal di
Singapura membuatnya harus akrab dengan teknologi dan alat-alat elektronik. Mbak
Tini telah terbiasa menggunakan kompor listrik, oven, belender, mesin cuci, vacuum
cleaner, dan alat rumah tangga modern lainnya. Mbak Tini juga paham jalur
transportasi bus dan MRT, serta memiliki tiket elektroniknya. Semua dia lakukan
demi memuaskan sang majikannya.
Mbak Tini membuktikan ia mampu bersaing secara profesional dengan caranya sendiri di negara semaju Singapura.
Mbak Tini adalah contoh dari BMI yang sangat professional
dalam berkerja. Ia tulus dan menyukai pekerjaannya, dan bahkan menjadi
sahabat
majikannya. Maureen sangat sayang pada mbak Tini, dan sangat percaya
padanya, dan
sebaliknya mbak Tini juga tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan
majikannya itu. Mbak
Tini telah sukses menaklukan Singapura, negara yang katanya paling maju
di Asia
Tenggara. Mbak Tini berhasil menjadi contoh pekerja Indonesia yang mampu
bersaing secara internasional dengan caranya sendiri. Mbak Tini juga
telah mengubah
pandangan saya tentang BMI, bahwa BMI juga bisa berkerja benar,
profesional, menjadi sahabat majikan dan menjadi mitra kerja yang
setara. Oleh karena itu, BMI harus dihormati dan diakui derajat
profesionalitasnya sama dengan pekerjaan lainnya. Mbak Tini mengakui
pentingnya kemampuan bagi seorang TKI sebelum bisa pergi berkerja keluar
negeri, oleh karena itu pemerintah juga harus bisa menjamin setiap BMI
yang dipekerjakan di luar negeri memenuhi semua kecakapan menjadi
pekerja rumah tangga di negara maju. Semoga saja banyak cerita Tini-Tini
lain
yang membawa kabar bagus sebagai pahlawan yang berjasa menghasilkan
devisa bagi republik ini.
0 comments:
Post a Comment