Masih terngiang
rasanya nikmat makan siang di sebuah warung sederhana di kecamatan Juwana, Pati
tahun lalu. Warung kecil di sebuah sudut jalan poros Semarang – Lasem, yang
selalu saya sempatkan untuk mampir kala berkunjung ke kota-kota di daerah
pantai utara Jawa Tengah. Warung yang selalu ramai, dan setiap mereka yang
keluar pastilah menyeka keringat yang bercucuran. Masakan bernama Kepala
Manyung yang menjadi menu spesial warung tadilah yang menyatukan tua,
muda, lelaki, perempuan, serta kaum miskin dan kaya.
Rindu lezatnya kepala
manyung, berbuah menjadi rasa penasaran untuk menelisik lebih jauh tentang makanan khas kota pesisir
utara jawa tengah ini. Masakan kepala manyung bukanlah sembarang kuliner yang
berbahan dasar kepala ikan seperti masakan kepala ikan kebanyakan. Kepala ikan
yang menjadi primadona masakan ini haruslah ikan yang telah melalui proses
pengasapan. Rasa manis daging ikan yang berpadu dengan uniknya rasa “asap” yang
menempel di daging yang telah kering, membuat masakan ini menjadi primadona pada
dapur-dapur keluarga. Terlebih dengan kuah santan yang pedas serta panas merica
yang menambah mantapnya rasa, masakan kepala manyung adalah suatu paket lengkap
makan siang bersama nasi panas dan es teh manis. Sungguh nikmatnya tiada
terkira.
Masakan kepala manyung
Baru akhir minggu
kemarin saya berkesempatan melihat langsung bagaimana bahan dasar dari masakan
kepala manyung diolah. Siapa sangka, di sebuah desa terpencil di Semarang,
salah satu sentra pengasapan ikan berdiri.
Hari hampir sore kala
saya memacu motor menuju daerah kelurahan Bandarharjo di utara kota
Semarang. Hari
cukup cerah sore itu, membuat jalanan telah mengering dari sisa-sisa
hujan tadi
malam. Saya cukup was-was dengan keadaan jalan karena derah yang saya
tuju
adalah daerah rawan banjir rob. Apalagi jika turun hujan, luapan banjir
akan bertambah dua kali lipat tingginya. Tetapi untunglah
Tuhan berkata lain hari itu. Jalanan sempit di ujung komplek perumahan
Tanah
Mas Semarang yang masih berupa jalan tanah, cukup kering untuk bisa
dilewati
sepeda motor saya tanpa amblas.
Di kejauhan telah
tampak cerobong-cerobong asap tinggi yang tengah mengepulkan asap putih. Saya bertanya
pada seorang bapak yang sedang menemani anaknya bermain di jalan perumahan
sekitar tentang rute menuju pabrik pengasapan ikan itu. Ternyata saya masih
harus menembus lebih jauh lagi gang-gang sempit, melewati jembatan kayu, dan
barulah sampai di sentra pengasapan ikan kota Semarang. Sungguh sebuah
perjalanan yang cukup melatih mental sore itu, dengan keadaan jalan yang cukup
membuat saya mengelus dada, ditambah tatapan heran warga sekitar yang melihat
seorang bertubuh gemuk dengan tas kamera memacu motor seolah ingin meliput suatu
peristiwa di kampung mereka yang tenang dan bersahaja itu.
Sentra pengasapan Bandarharjo
Saya memarkirkan motor
di pinggir kali dekat dengan jemuran-jemuran kecil dari anyaman bambu yang di atasnya
terususn rapi ikan-ikan kering yang tampaknya telah digarami sebelumnya. Dalam hati
saya berpikir bahwa tempat ini sungguhlah tempat mereka yang setiap harinya
bersahabat dengan ikan-ikan. Tidak hanya dibuat pengasapan, sisa-sisa ikan yang
berlebih juga tetap dimanfaatkan dengan cara dibuat ikan asin. Sungguh ikan
telah menjadi gatungan hidup setiap mereka yang berusaha di tempat ini.
Sayapun mencoba menuju
sebuah pabrik yang cerobong asapnya masih tampak mengepulkan asap putih sore
itu. Seorang ibu yang akhirnya saya tahu bernama Bu Kuntoro tampak duduk di
depan pabrik pengasapan sederhananya, bersama dua orang ibu lain yang
memilah-milah ikan yang telah diasap dalam keranjang bertutup daun jati. Saya menyapa
bu Kun dan mohon ijin untuk melihat-lihat pabrik pengasapan ikannya. Rasa panas
langsung meyergap kala saya memasuki ruang pembakaran. Tiga orang ibu-ibu
setengah baya tampak santai menyusun ikan-ikan dalam jaring-jaring besi yang
kemudian diletakan di atas tungku yang telah bernyala bara api yang membakar
sabut kelapa. Sabut kelapa yang terbakar mengeluarkan asap putih yang kemudian
mengasapi ikan-ikan tadi. Selama sekitar dua puluh menit diasapi, ikan-ikan yang
tadinya berwarna putih kulitnya telah berubah warna menjadi kuning keemasan dan siap untuk segera
dipasarkan.
Proses yang tampak
mudah tadi ternyata tidak segampang yang dilihat. Ibu Kuntoro bercerita kepada
saya tentang lamanya proses pembuatan ikan asap. Proses ini ternyata melibatkan
banyak orang dalam produksi hariannya. Pagi-pagi sekali, suami ibu Kuntoro yang
adalah seorang nelayan akan pulang dari melaut. Suami ibu Kun kemudian
mengumpulkan hasil tangkapannya bersama nelayan lain untuk dibawa ke sentra
pengasapan. Ikan yang dikumpulkan bermacam-macam. Ada ikan mangut, tongkol,
cakalang, hingga ikan pari. Sebelum matahari menampakan diri, ikan-ikan tadi harus
sudah bersih dicuci dan dipotong kecil-kecil. Setelah direndam garam secukupnya
yang hanya sekadar untuk memberi rasa, barulah ibu-ibu yang kemudian akan mengambil
bagian dalam proses pengolahan ikan ini. Seharian, secara bergantian, ikan yang
telah direndam diasapi satu persatu.
Proses ini tidak jarang akan berakhir petang
hari, bahkan pernah hingga pukul sembilan malam. Tak terbayang rasanya berada
dalam ruang panas yang minim cahaya lebih dari delapan jam sehari. Tetapi begitulah
cara ibu-ibu luar biasa ini menyambung hidup mereka. Keuletan mereka berkerja
tanpa lelah mampu menghasilkan minimal dua kwintal ikan asap dalam satu hari.
Proses pengasapan ikan
Ikan asap ini kemudian
didistribusikan ke pedagang-pedagang besar di pasar sentral, dan kemudian di
sebarkan hingga ke warung-warung kecil di daerah Jawa Tengah. Ikan asap yang
sampai hari ini laris manis dibeli oleh pencinta makanan laut ini, adalah salah
satu bentuk kreasi dari ragam cara pengolahan ikan. Sejak turun temurun, bangsa
kita telah mahir melakukan pengolahan ikan. Sebagai bangsa maritim, tak jarang
hasil ikan yang berlimpah ruah perlu diolah kembali agar bisa memperpanjang
keawetannya. Pengasapan adalah salah satu metode yang banyak diterapkan untuk
melakukan pengawetan ikan. Dengan proses ini, kandungan gizi dalam ikan tidak
jauh berkurang, karena pengasapan hanya berlangsung selama dua puluh menit, dan
ikan tidak bersentuhan langsung dengan arang sehingga mengurangi sifat
karsinogeniknya. Proses pengasapan juga memberikan nilai tambah dari sisi cita
rasa. Rasa unik khas ikan asap akan menjadi penambah selera makan. Makan ikan
yang kaya zat gizi dan manfaat, akan semakin nikmat karena rasanya yang enak.
Saya
banyak belajar
sore itu dari sebuah pabrik pengasapan ikan yang begitu bersahaja di
pinggiran
utara kota Semarang. Perjuangan para nelayan dan kaum ibu kampung ini
untuk
membuat semua orang bisa merasakan manfaat baik dari ikan telah menyetuh
hati
saya. Bilik-bilik pengasapan di kelurahan Bandarharjo kota Semarang
telah menjadi sumber bahan baku dari ratusan porsi masakan kepala
manyung yang mampu menyatukan hati
setiap mereka yang mengidolakan masakan khas pesisir pantai utara itu.
Saya semakin
cinta dengan masakan kepala manyung. Selain karena rasanya yang pedas,
saya
juga cinta karena telah melestarikan budaya pengasapan ikan yang telah
ada
sejak ratusan tahun lalu, dan saya berharap akan terus lestari
kedepannya.
0 comments:
Post a Comment