Pesawat
mendarat mulus di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Bandara Bali ini baru
saja di renovasi. Terminal domestiknya tampak lapang, berbeda dengan
cerita semerautnya bandara Bali beberapa tahun lalu. Daya tarik laut
Bali yang bisa kulihat sejak dari jendela pesawat membuatku sedikit lupa
dengan galau ku karena gagal pergi ke Bali bersamamu. Mumpung aku sudah
di Bali, aku tak mau menyianyiakan surga ini hanya untuk menangisi
ketiadaanmu. Aku harus benar-benar menikmati Bali.
Bandara I Gusti Ngurah Rai yang baru
Bagasiku sudah diamankan oleh petugas lost and found
karena aku yang tak bergegas mengambilnya. Aku memang terbiasa tinggal
di pesawat hingga penumpang lain turun, dan aku menjadi yang terakhir
meninggalkan pesawat. Ternyata loading baggage di bandara ini
lumayan cepat sehingga aku juga menjadi yang terakhir dalam mengambil
bagasi di penerbangan itu. Ku tarik koper kecil ku, ku lenggangkan kaki
keluar terminal kedatangan, menuju seseorang yang telah menjemputku
untuk menuju hotel. Doa ku, semoga memori indah akan terbentuk di pulau
penuh pesona ini.
Setiap sudut Bali menampilkan identitas budaya Bali, seperti altar sembahyang kecil ini, yang bisa dengan mudah dijumpai di depan rumah-rumah penduduk
Sore
sudah merekah melukiskan langit kemerahan. Negeri surga sunset ini
langsung menyambutku dengan pertunjukan utamanya di sepanjang jalanku
menuju ke hotel. Altar-altar sembahyang dan pura-pura kecil menghiasi di
kanan-kiri lajur jalan. Identitas, itulah yang dimiliki pulau ini.
Tanpa identitas sebagai daerah yang masih menjaga budayanya, maka ku
yakin Bali tidaklah se istimewa Bali hari ini. Aku seolah merasa berada
di belahan bumi lain di tempat ini. Bisa lari sejenak dari bising kota
besar hasil bentukan kolonial dan melihat Bali, membuat ku merasakan
seperti hidup dalam kota di kerajaan Majapahit modern. Ilusi memang,
tetapi sungguh sangat asing berada di tempat ini.
Upacara adat di Bali
Memberikan persembahan harian pada dewa-dewi
Biar
ku ceritakan kepada kamu yang mungkin sedang membaca cerita ini, bahwa
setiap orang di pulau Bali sangat murah akan senyum. Mereka sering
memakai pakaian adatnya untuk sembahyang setiap hari, entah itu di altar
sembahyang di depan rumah ataupun di pura-pura. Semua disini mengikuti
ritme hidup sang pemimpin agama. Jika dirasa hari ini hari baik oleh
sang pemimpin agama, maka tak jarang ada jalan yang ditutup untuk
dijadikan lajur pawai upacara adat. Tetapi tidak ada yang mengeluh
disini. Macet jalanan yang tetiba ditutup, atau harus melewatkan
aktivitas duniawi untuk ikut upacara adat, bukanlah menjadi masalah
besar bagi penduduk Bali. Tamparan bagiku yang bahkan harus sering kau
marahi karena malas ke Gereja dan lebih memilih keluar masuk pusat
belanja.
Hotel Bali Kuta Resort
Ruang tamu hotel ku, bahkan ruang ini bisa menjadi satu tempat tidur tersendiri
Tak
seberapa lama menyusuri jalan, aku tiba di daerah kuta. Aku menginap di
hotel Bali Kuta Resort. Ini adalah kali kedua ku menginap di hotel
berbintang empat. Biasanya aku harus sudah cukup puas meringkuk di
cocon-cocon backpacker hostel. Biarlah ku rogoh kantong sedikit lebih
dalam, agar perjalanan ini tidak terlalu jauh dari utopia kita dulu. Di
kamar ku terdapat kamar tamu, kitchen set, kamar mandi utama, dan
balkon. Kamar hotel ini sepertinya memang dirancang untuk mereka yang
berbulan madu. Sungguh hotel yang special untuk ku di perlajanan perdana
ku di Bali, meski aku tidak sedang berbulan madu. Ku buka pintu balkon
kamar yang menghadap rimbun pepohonan kelapa di halaman belakang hotel.
Ku hirup nafas dalam-dalam. Syukur rasanya bisa menikmati hidup yang
indah ini. Bisa berliburan di Bali adalah mimpi ku dan mimpi banyak
orang dan hari ini aku telah mewujudkan mimpi itu. Sayang, sungguh
sayang kamar ini sepi. Kamar tiga puluh meter persegi itu hanya dihuni
oleh ku seorang. Liburan ini indah, tetapi memang harus ku akui, tidak
lengkap.
Uniknya Bali, modern bercampur tradisional
Malam
hari ku coba susuri jalan di Kuta untuk sekedar mencari angin.
Canang-canang di depan rumah-rumah penduduk semakin memberi kesan magis
bagi pulau ini. Barulah ku tahu bahwa canang ini merupakan persembahan
bagi dewa orang Hindu, dan pantang untuk di injak ataupun di langkahi
dengan sengaja. Di dekat hotel terdapat sebuah pura. Pura itu sepertinya
didirikan sebagai tempat ritual untuk warga di desa setempat. Unik
rasanya melihat pura ini berdiri tegak diantara toko-toko branded dan
minimarket modern. Tampak serombongan wisatawan asing berseliweran di
jalanan dekat hotel, sepertinya mereka juga sedang mencari-cari café
atau restoran untuk menghabiskan malam hari mereka di Bali. Ku putuskan
untuk membeli kripik kentang dan sebotol air minum satu setengah liter
di minimarket dan kembali ke hotel untuk beristirahat. Besok akan ku
mulai perjalanan ku di Bali. Tentu seperti yang sudah-sudah, sendiri,
tanpa kamu.
0 comments:
Post a Comment