Senja hampir menjelang
kala bus kami melewati Candi Prambanan di perbatasan Kabupaten Klaten dan
Provinsi D.I. Yogyakarta. Tetapi kami tidak berhenti di candi yang tersohor
itu. Bus kami terus melaju, memasuki jalan-jalan kecil desa dengan rumah
penduduk berderet di kanan dan kiri jalan. Kami menuju tempat lain yang juga
adalah sebuah candi, yang bagi saya menawarkan sebuah anomali dibandingkan
candi-candi lain disekitarnya. Candi Plaosan adalah tempat dimana kami menuju.
Sebuah mahakarya tentang kisah cinta dua insan yang berbeda keyakinan di sudut
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Setelah melewati jalan
desa yang berkelok, saya tiba di kompleks Candi Plaosan Lor. Dua bangunan candi
hampir identik telah tampak dari lokasi kami turun dari bus. Sekilas candi ini
tampak biasa saja. Tidak sebesar dan semegah Prambanan ataupun Borobudur. Juga
tidak terletak di lokasi yang indah seperti candi Gedong Songo yang berdiri nun
jauh di kaki gunung Ungaran. Tetapi ketika saya mendekat pada papan informasi
candi, maka saya terdiam dan berpikir cukup lama hingga akhirnya menemukan
benang merah dari informasi yang saya baca di papan dengan pengetahuan sejarah
saya yang dangkal hasil menghapal buku lembar kerja siswa semasa SMA. Saya
menemukan sebuah anomali yang sangat menarik pada candi ini, dan hal itulah
yang membuatnya begitu spesial.
Stupa-stupa di puncak Plaosan sebagai penanda candi Budha
Candi ini
teridentifikasi sebagai sebuah candi Budha. Sebuah anomali karena hampir semua
candi di kompleks Prambanan dan sekitarnya adalah candi dari agama Hindu. Stupa
yang menjadi puncak candi adalah tanda bahwa candi ini ditujukan bagi agama
Budha. Tetapi sebagai sebuah candi Budha, Candi Plaosan kembali menjadi sebuah
anomali. Candi ini begitu sederhana kurus menjulang dan banyak printilan
candi-candi kecil yang tersebar di sekelilingnya layaknya model candi-candi
beraliran Hindu, tidak seperti Borobudur yang megah, terpusat, penuh relief,
dan besar. Sayapun semakin tenggelam dalam pertanyaan apa gerangan penyebab
anehnya candi ini. Saya mencoba mencari infrormasi daring saat itu juga.
Setelah membaca
beberapa saat dari layar gawai, akhirnya saya paham bahwa Candi Plaosan tenyata
menyimpan kisah romatis dua insan. Bangunan ini adalah wujud dari sebuah rasa
yang begitu universal. Bak Taj Mahal di India yang dibangun atas nama sebuah
rasa, candi ini juga turut jadi pralambang dari kisah yang juga mengusung suatu
rasa yang sama. Sebuah rasa yang tidak dapat dipatahkan oleh agama, status, dan
larangan. Rasa itu adalah cinta, yang kuat mengakar dalam diri dua insan yang
bersatu abadi dalam legenda candi Plaosan.
Kompleks candi dari kejauhan
Berangkat dari suatu
ketika di masa dinasti Syailendra, kisah tentang candi ini dimulai. Tersebutlah
seorang putri bernama Pramodyawardani.
Gadis jelita ini adalah seorang putri dari Raja Samaratungga, dengan nama lain
Sri Kahulunan yang memeluk agama Budha. Di suatu masa ketika ia telah siap
untuk menjalin cinta sebagai seorang dewasa, bertemulah ia dengan Rakai Pikatan,
seorang pemuda keturunan wangsa Sanjaya yang taat beragama Hindu. Perbedaan
keyakinan tidak membuat mereka memutuskan rasa yang telah terjalin. Hingga
berdirilah candi Plaosan pada abad ke-9 sebagai pralambang bersatunya cinta
mereka yang berbeda keyakinan.
Memasuki candi, tampak
jelas terdapat dua candi besar berdiri bersebelahan dari utara ke selatan.
Disekitar dua candi utama tadi, terdapat juga candi-candi yang lebih kecil di sekelilingnya.
Menurut legenda, candi di sebelah utara adalah candi yang melambangkan sang
wanita, dan di sebelah selatan adalah candi yang melambangkan pria. Sayang
memang tidak terdapat tanda yang cukup berarti akan “jenis kelamin” dua candi
ini. Mungkin saja di zaman dulu dapat terlihat lingga dan yoni sebagai
pralambang fisik pria dan wanita di candi ini.
Motif seperti batik pada relief candi Plaosan
Hal yang cukup menarik
di candi ini adalah reliefnya. Tidak seperti borobudur yang reliefnya lebih
seperti diorama, relief di candi ini lebih mirip motif batik. Andai saja saya
membawa kain batik hari itu, tentu akan sangat cocok untuk diajak berfoto
berlatar motif batik di relief candi Plaosan ini. Sungguh senang rasanya
menebak-nebak maksud apa gerangan di balik ukiran motif-motif pada setiap
relief di candi ini. Atau mungkin saja bentuk-bentuk yang tergurat pada batuan
di candi inilah yang menjadi inspirasi para pembatik di masa lalu.
Tetapi dari semua cerita tentang
Plaosan, hal yang paling jelas saya pelajari di candi ini adalah dapat bersatunya
dua insan meskipun memiliki banyak perbedaan. Uniknya, hal ini sudah terjadi di
bumi pertiwi ratusan tahun lalu. Sungguh candi Plaosan adalah representasi dari
semangat tolerasi manusia nusantara di masa lalu. Bahwa sejak zaman wangsa
Hindu – Budha memerintah negeri ini, kita telah toleran pada sesama meski
berbeda kepercayaan dan agama. Semoga saja negeri ini banyak belajar dari kisah
Sri Kahulunan dan Rakai Pikatan yang abadi terpatri pada setiap lekuk batu di
candi Plaosan, Klaten, Jawa Tengah.
0 comments:
Post a Comment